TEMA
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Kajian Prosa Fiksi
Oleh:
Rizal Friady 152121167
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SILIWANGI
TASIKMALAYA
2015
KATA PENGANTAR
Segala puji dan
syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat
dan hidayahnya kami dapat menyusun sebuah makalah yang membahas tentang “ Tema” meskipun bentuknya sangat jauh
dari kesempurnaan, selanjutnya salawat dan salam kami kirimkan kepada Nabi
Besar Muhammad SAW sebagaimana beliau telah mengangkat derajat manusia dari
alam kegelapan menuju alam yang terang benderang.
Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen
yang membimbing mata kuliah Kajian Prosa Fiksi atas bimbingannya. Kami juga
mengharapkan agar makalah ini dapat dijadikan pedoman apabila pembaca melakukan
hal yang berkaitan dengan makalah ini karena apalah gunanya kami membuat
makalah ini apabila tidak dimanfaatkan dengan baik.
Sebagai manusia biasa tentu kami tidak dapat langsung
menyempurnakan makalah ini dengan baik. Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari dosen pembimbing mau
pun pembaca.
Tasikmalaya, September 2016
Penyusun
DAFTAR
ISI
KataPengantar.................................................................................................. i
Daftar Isi.......................................................................................................... ii
BAB
IPENDAHULUAN
A. Latar
Belakang............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah........................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Hakikat Tema.............................................................................. 3
B. Tema: Mengangkat Masalah
Kehidupan..................................... 8
C. Tema dan Unsur Cerita yang Lain.............................................. 12
D. Penggolongan Tema.................................................................... 16
E. Penafsiran Tema.......................................................................... 20
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan.................................................................................. 24
B.
Saran............................................................................................ 25
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap kali
membaca karya novel maupun karya fiksi, bagi para pembaca pastilah tidak hanya
bertujuan untuk membaca alur ceritanya saja, tetapi pembaca juga akan
mempertanyakan apa yang ingin diungkapkan pengarang melalui karyanya atau apa
makna yang terkandung yang ingin disampaikan pengarang lewat isi cerita
tersebut. Mempertanyakan makna sebuah karya sastra, sebenarnya juga mempunyai
arti mempertanyakan tema yang terkandung di dalam karya sastra tersebut. Setiap
karya sastra maupun karya fiksi pastilah mengandung atau menawarkan sebuah tema
yang terkandung di dalam cerita, namun apa isi tema itu sendiri tidak mudah
ditunjukan.
Semi
(1984:35) menyatakan bahwa tema merupakan suatu gagasan sentral, sesuatu yang
hendak diperjuangkan dalam suatu tulisan atau karya fiksi. Sedangkan Muhardi
dan Hasanudin (1992:8) menyatakan bahwa tema adalah inti permasalahan yang
hendak dikemukakan pengarang dalam karyanya. Oleh sebab itu tema merupakan
hasil konkluksi dari berbagai peristiwa yang terkait dengan penokohan dan
latar. Jadi dapat disimpulkan bahwa tema yaitu suatu pokok / inti persoalan
yang mendasari suatu cerita.
Untuk
menemukan sebuah tema dalam sebuah karya fiksi, ia haruslah disimpulkan dari
keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu dari cerita
(Nugiantoro, 1995:68) walau tema sulit ditemukan secara pasti, ia bukanlah
makna yang ”disembunyikan”, walau belum tentu juga dilukiskan secara
eksplisit. Dalam makalah ini, penulis akan menjabarkan dan menerangkan apa
itu hakikat tema, penggolongan tema, serta penafsiran tema dalam sebuah karya
fiksi.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Apa hakikat tema?
2.
Apa tema mengangkat masalah kehidupan?
3.
Apa tema dan unsur cerita yang lain?
4.
Bagaimana penggolongan tema?
5.
Bagaimana penafsiran tema?
C.
Tujuan
Penulisan
Sejalan dengan rumusan
di atas, makalah ini disusun dengan tujuan untuk:
1.
Mengetahui hakikat tema.
2.
Mengetahui tema mengangkat masalah
kehidupan.
3.
Mengetahui tema dan unsur cerita yang
lain.
4.
Mengetahui penggolongan tema.
5.
Mengetahui penafsiran tema.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat
Tema
Mempertanyakan
makna sebuah karya, juga berarti mempertanyakan tema. Setiap karya fiksi
tentulah mengandung dan atau menawarkan tema, namun apa isi tema itu sendiri
yak mudah ditunjukkan. Ia haruslah dipahami dan ditafsirkan melalui cerita dan
data-data (baca:unsur-unsur pembangun cerita) yang lain, dan itu merupakan
kegiatan yang sering tidak mudah dilakukan. Kwsulitan itu sejalan dengan
kesulitan yang sering kita hadapi jika kita diminta untuk mendefinisika tema.
Usaha
mendefinisikan tema sebagaimana halnya dengan pendefinisian masalah lain,
misalnua sastra juga tak mudah, khususnya definisi yang dapat mewakili substansi
sesuatu yang didefinisikan itu.
Masalah seperti
itulah yang sering kita jumpai terhadap persoalam tema, baik untuk menjelaskan
pengertian tema sebagi salah satu unsur karya sastra maupun untuk
mendeskripsikan pernyataan tema yang di kandung dan ditawarkan oleh sebuah
cerita novel. Kedua hal itu memang berkaitan. Kejelasan pengertian tema akan
membantu usaha penafsiran dan pendeskripsian pernyataan tema sebuah karya
fiksi. Tema (theme), menurut Stanton (1965:20) dan Kenny (1966: 88), adalah
makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Namun, ada banyak makna yang dikandung
dan ditawarkan oleh cerita (novel) itu, maka masalahnya adalah makna khusus
yang mana yang dapat dinyatakan sebagai tema itu. Atau, jika berbagai makna itu
dianggap sebagai bagian-bagian tema, sub-subtema atau tema-tema tambahan.
Untuk
memperjelas masalah itu, kita ambil sebagai contoh misalnya novel salah asuhan.
Ada banyak makna yang dapat disarikan dari novel itu. Makna yang dimaksud,
untuk menyebutkan beberapa yang terpenting saja, adalah: (1) masalah kawin
paksa, Hanafi dipaksa kawin dengan Rafiah oleh ibunya, dengan alasan semacam
"balas jasa" karena ayah Rapiah telah membiayai sekolah Hanafi di
samping keduanya masih sepupu; (2) masalah penolakan "payung"
(kebangsaan) sendiri, Hanafi lebih suka menjadi warga bangsa (negafa) Belanda
daripada tetap sebagi warga bangsa Indonesia karena hal itu dianggapnya lebih
bergengsi dan mencerminkan status sosial; (3) masalah perkawinan antar bangsa,
perkawinan campuran antara Barat dan Timur, Hanafi kawin dengan Corrie setelah
sebelumnya menceraikan Rafiah, dan hal itu ditambah dengan makna kedua
menyebabkan mereka tersisih sehingga memicu munculnya banyak masalah-konflik;
(4) kesalahan mendidik anak dapat berakibat fatal. Hanafi oleh ibunya disekolahkan
secara Barat, maksudnya agar lebih maju, namun ternyata ia menjadi bersikap
sombong, kebarat-baratan, bahkan lebih bersikap kebarat-baratan daripada orang
Barat sendiri, dan amat memandang rendah bangsa sendiri.
Dari keempat
makna tersebut dapat dipertanyakan makna yang manakah yang memiliki kriteria
tertentu sehingga dapat dianggap sebagai makna pokok, atau tema pokok, novel
salah asuhan itu?
Untuk menentukan
makna pokok sebuah novel, kita perlu memiliki kejelasan pengertian tentang
makna pokok, atau tema, itu sendiri. Tema merupakan gagasan dasar umum yang
menopang sebuah karya sastra dan yang rerkandung di dalam teks sebagai struktur
semantis dan menyangkut persamaan-persaman atau perbedaan-perbedaan (Hartoko
& Rahmanto, 1986:142). Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam
karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik,
dan sitiasi tertentu. Tema dalam banyak hal bersikap "mengikat" kehadiran atau ketidak hadiran peristiwa,
konflik, situasi tertentu, termasuk berbagai unsur instrinsik yang lain, karena
hal-hal tersebut haruslah bersifat mendukung kejelasan tema yang ingin
disampaikan. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun
bersifay menjiwai seluruh bagian cerita itu. Tema mempunyai generalisasi yang
umum, lebih luas, dan abstrak.
Dengan demikian,
untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, oa haruslah disimpulkan dari
keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertenti cerita.
Tema, walau sulit ditentukan secara pasti, bukanlah makna yang
"disembunyikan", walau belum tentu juga dilukiskan secara eksplisit.
Tema sebagai makan pokok sebuah karya fiksi tidak (secara sengaja)
disembunyikan karena justru hal inilah yang ditawarkan kepada pembaca. Namun,
tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia
akan "tersembunyi" di balik cerita yang mendukungnya.
Sebagai sebuah
makna, pada umumnya tema tidak dilukiskan, palingtidak pelukisan yang secara
langsung atau khusus. Eksistensi dan atau kehadiran tema adalah teumplisit dan
memasuki keseluruhan cerita, dan inilah yang menyebabkan kecilnya kemungkinan
pelukisan secara langsung tersebut. Hal ini pulalah antara lain yang
menyebabkan tidak mudahnya penafsiran tema. Penafsiran tema (utama) diprasyarati
oleh pemahaman cerita secara keseluruhan. Namun, adakalanya dapat juga
ditemukan adanya kalimat-kalimat (atau: alinea-alinea, percakapan) tertentu yang
dapat ditafsirkan sebagai sesuatu yang emngandung tema pokok.
Berdasarkan
kriteria bahwa makna utama (baca: tema pokok) bersifat merasuki keseluruhan
cerita, makna yang manakah yang dapat dianggap sebagai tema pokok di angara
keempat makna yang dikemukakan pada novel salah asuhan? Apakah makan pertama
tentang kawin paksa merupakan tema pokok seperti yang "dituduhkan"
orang terhadap umunnya sastra Balai Pustaka? Tampaknya bukan, sebab makna itu
hanya sebagian kecil dari keseluruhan peristiwa dengan cerita yang panjang.
Apakah makna kedua tentang penolkan kebangsaan sendiri tentang merupakan tema
pokok? Tampaknya ia juga bukan, sebab hal itu hanya muncul dalam kaitannya
dengan rencana (baca: persyaratan) pelaksanaan perkawinan Timur-Barat, dan
masih banyak makna lain yang tidak tersiratkan. Apakah makna ketiga tentang perkawinan
Timur-Barat merupakan tema pokok? Masalah ini walau memixu timbulnya berbagaj
peristiwa-konflik, tampakanya juga buka merupakan tema utama. Sebab masih ada
makna-makna lain yang tidak tercakup di dalamnya, termasuj masalah kawin paksa,
yang tidak seperti umumnya novek pada waktu itu, tidak menimbulkan sikap
antipati pembaca, dan bahkan sebaliknya. Makna yamg keempat tentang kesalahan
mendidik anak, kiranya memiliki kemungkinan terbesar untuk dinyatakan sebagai
tema utama. Hal itu disebabkab berbagai peristiwa konflik berawal dan
disebabkan sikap Hanafi yang kebarat-baratan dan memandang rendah bangsanya.
Karena sikapnya inilah ia memperlakukan Rapiah dan ibunha sebagi budaj saja
layaknha, rela mencampakkan "payung"-nya, suatu hal yang dianggap
kurang baik pada wakgu itu, karena dikonotasikan sebagai lambang kekolotan,
demi cintanya kepada gadis Indo, Corrie yang dianggap dapat mengangkat martabat
dirinya setingkat dengan bangsa Eropa yang dikonotasikan sebagai lambang
kemodernan.
Pertimbangan
penentuan tema utama seperti dicontohkan diatas jug didasarkan pada pengertian
tema menurut Stanton (1965:21) yaitu yang mengartikan tema sebagai "makna
sebuah cerita yang secata khudus menerangkan sebagian besar insurnya dengan
cara yang sederhana". Tema, menurutnya kurang lebih dapay bersinonim
dengan ide utama (central idea) dan tujuan utama (cental purpose)
Tema dengan
dengan, dapat dipandang sebagu dasar cerita gagasan dasar umum, sebuah karya
novel. Gagasan dasar umum inilah yangbtrntunya telah ditentukan sebelumnya oleh
pengarang yang dipergunakan untuk mengembangkan ceruta. Dengan kata lain,
ceruta tentunga "setia" mengikuti gagasan dasar umum yang telah
ditetapkan sebelumnya sehingga berbagai peristiwa konflik dan pemiliham
berbagai unsur instrinsik yang lain seperti penokohan, pelataran, dan penyudut
pandangan di usahakan mencerminkan gagasan dasar umum tersebut. Jika cerita
telah ditetapkan dilihat dari sudut pengaranf misalnya ditulis dalam bentuk
pernyataan kerangka cerita, perwatakan para tokoh dan lain-lain pun segera
dapat dibayangkan. Walau demikian, diakui oleh banyak pengaranf pikiran semula,
ide-ide cerita tidak jarang akan berkembang sesuai dengan "kemauanya"
sendiri.
Apa yang
ditunjukkan di atas memperlihatkan bahwa dasar (utama) cerita sekaligus berarti
tujuan (utama) cerita. Jika pengembangan cerita, hal itu bertujuan agar dasar,
gagasan dasr umum, atau sesuatu yang ingin dikemukakan itu dapat diterima oelh
pembaca. Jika dilihat dari sudut pengarang dasar cerita dipakai sebagai panutan
pengembangan cerita, dilihay dari sudut pembaca ia akan bersifat sebaliknya.
Berdasarkan cerita yang dibeberkan (baca: dikembangkan) itulah pembaca berusaha
menafsirkan apa dasar utama cerita itu, apa ta cerita itu, dan hal itu akan
dilakukan berdasarkan detil-detil unsur yang terdapat dalam karya yang
bersangkutan.
B.
Tema:
Mengangkat Masalah Kehidupan
Masalah hidup dan
kehidupanyang dihadapi dan dialami manusia amat luas dan kompleks, seluas dan
sekompleks permasalahan kehidupan yang ada. Walau permasalahan yang dihadapi
manusia tidak sama, ada masalah-masalah kehidupan tertentu yang bersifat
universal. Artinya, hal itu akan dialami oleh setiap orang dimanapun dan
kapanpun walau dengan tingkat intensitas yang tidak sama. Misalnya,hal-hal yang
berkaitan dengan masalah cinta, rindu, cemas, takut, maut, religius, nafsu dan
lain-lain. Novel, yang dapat dipandangsebagai hasil dialog mengangkat dan
mengungkapkan kembali berbagai permasalahan hidup dan kehidupan tersebut
setelah melewati penghayatan yang intens, selektif-subjektif, dan diolah dengan
daya imajinatif-kreatif oleh pengarang ke dalam bentuk dunia rekaan.
Pengarang
memilih dan mengangkat berbagai masalah hidup dan kehidupan itu menjadi tema
dan atau sub-subtema ke dalam karya fiksi sesuai dengan pengalaman, pengamatan,
dan aksi interaksinya dengan lingkungan. Tema sebuah karya sastra selalu
berkaitan dengan makna (pengalaman) kehidupan. Melalui karyanya itulah
pengarang menawarkan makna tertentu kehidupan, mengajak pembaca untuk melihat,
merasakan, dan menghayati makna (pengalaman) kehidupan tersebut dengan cara
memandang permasalahan itu sebagaimana ia memandangnya. Selesai membaca sebuah
karya novel, mungkin sekali kita akan merasakan sesuatu yang belum dirasakan
sebelumnya mungkin berupa keharuan, ikut merasakan penderitaan atau kebahagiaan
seperti yang dialami tokoh, atau berbagai reaksi emotif yang lain yang dapat
menyebabkan kita mengalami perubahan dalam menyikapi hidup dan kehidupan ini.
Berbagai
masalah dan pengalaman kehidupan yang banyak diangkat ke dalam karya fiksi,
baik berupa pengalaman yang bersifat individual maupun sosial, adalah cinta
(sampai atau tak sampai, terhadap kekasih, orang tua, saudara, tanah air, atau
yang lain), kecemasan, dendam, kesombongan, takut, maut, religius, harga diri, dan
juga kesetiakawanan, penghianatan, kepahlawanan, keadilan dan kebenaran, dan
sebagainya. Pemilihan tema-tema tertentu ke dalam sebuah karya, sekali lagi,
bersifat subjektif: masalah kehidupan manakah yang paing menarik perhatian
pengarang sehingga merasa terdorong untuk mengungkapkannya ke dalam bentuk
karya. Atau, pengarang menganggap masalah itu penting, mengharukan, sehingga ia
merasa perlu untuk mendialogkannya ke dalam karya sebagai sarana mengajak
pembaca untuk ikut mengungkapkannya.
Masalah
cinta tak sampai, misalnya, diangkat menjadi tema dalam banyak novel seperti Azab dan Sengsara, Siti Nurbaya, Si Cebol
Rindukan Bulan, Di bawah Lindungan Kabah, dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk,
masing-masing oleh Merari Siregar. Marah Rusli, Aman Datuk Modjoindo, dan
Hamka. Masalah takut diangkat oleh Mochtar Lubis sebagai tema dalam Jalan Tak Ada Ujung, masalah keadilan
dan kebenaran dalam Harimau! Harimau! Dan
Maut dan Cinta, atau masalah kurangnya perhatian orang tua terhadap anak
dalam Tanah Gersang. Masalah
religiolitas (yang bersifat problematis) ditawarkan Navis dalam cerpen Robohnya Surau Kami, dan Datangnya dan Perginya, serta novel Kemarau. Masalah perjuangan melawan
penjajah diangkat Nugroho dalam cerpen-cerpennya yang terkumpul dalam Hujan
Kepagian dan Trisnoyuwono dalam Laki-laki dan Mesiu, masalah pemertahanan harga
diri ditampilkan Nasyah Jamin dalam Gairah untuk Hidup dan untuk Mati, dan
sebagainya.
Dialog
lewat novel kata H.B. Mangunwijaya (kompas, 23 juli 1981), jika digarap dengan
serius akan sanggup mengajak pemikiran, tidak saja dengan otak, melainkan juga
dengan perasaan, serta ungkapan manusiawi lainnya. Novel
dapat menyampaikan dialog yang mampu menggerakkan hati masyarakat pembaca,
memengaruhi, dan membentuk opininya. Lewat novel, pembaca dapat diajak
melakukan eksplorasi dan penemuan diri. Namun, hal itu tidak berarti bahwa tema
kemanusiaan yang ingin didialogkan harus ditonjolkan sedemikian rupa sehingga
"mengalahkan" unsur-unsur fiksi yang lain, melainkan haruslah tetap
berada dalam proporsi yang semestinya sebagaimana halnya penulisan karya seni
yang menekankan tujuan estetik.
Seperti telah dikemukakan,
fiksi menawarkan suatu kebenaran yang sesuai dengan keyakinan dan tanggung
jawab kreativitas pengarang dan itu mungkin tidak sejalan atau bahkan
bertentangan dengan kebenaran di dunia nyata. Masalah kebenaran disini ada
kaitannya dengan tema, tema yang ingin disampaikan dilakukan dengan cara
"pembenaran" sesuatu, baik ia berupa peristiwa, konflik, perwatakan
tokoh, hubungan tokoh, maupun unsur-unsur lain yang terkait. Usaha pembenaran
itu biasanya ditandai dengan penampilan kejadian dan penokohan yang terasa
dilebih-lebihkan (Meredith & Fitgerald, 1970:70). Namun, semuanya itu
ditempuh untuk lebih meyakinkan pembaca akan kebenaran yang ditawarkan itu.
Novel Pada Sebuah Kapal karya
Dini, misalnya menceritakan kehidupan tokoh Sri yang tidak bahagia dengan
suaminya, Charles Vincent, yang kasar, egois, dan tak mengerti perasaan wanita
(baca: Sri, istrinya) serta jauh dari tokoh idamannya. Dalam perjalanan ke
Perancis lewat laut, Sri jatuh cinta kepada kapten kapal yang ditumpanginya.
Michel, sang kapten itu, ternyata memiliki latar belakang kehidupan keluarga
yang mirip dengannya (yang tak bahagia dengan istrinya yang selalu ceriwis, mau
menang sendiri, apalagi ia lima tahun lebih tua darinya) maka Sri dan Michel
saling jatuh cinta dan melakukan hubungan tubuh. Walau demikian, Sri sama
sekali tidak merasa berdosa (atau merasa berkhianat pada suami). Ia
melakukannya dengan sadar dan setulus hati karena didorong oleh perasaan
cintanya, dan bukan semata-mata karena dorongan kebutuhan biologis.
Melihat perbuatan yang
dilakukan oleh Sri, jika memahami latar belakang penyebabnya, juga Michel
pasangannya, kita pembaca (tentu saja tidak semua, mungkin) akan memberikan
sikap simpati dan menerima kejadian itu sebagai sesuatu yang wajar dan
manusiawi. Namun jika hal itu dihadapkan pada kebenaran agama yang berlaku
didunia nyata, perbuatan itu tidak dibenarkan sama sekali dan keduanya dikutuk.
dilihat dari segi ini, novel itu mungkin menawarkan kebenaran tema "apa
salahnya seorang wanita menyeleweng jika dirumah tangganya tidak menemui
kebahagiaan, disamping penyelewengan toh tidak hanya menjadi monopoli kaum
lelaki". Dengan demikian, kita akan berhadapan dengan penilaian moral, dan
mungkin sekali tema berisi penilaian (kembali) suatu moral (mungkin juga
pandangan hidup) baik secara langsung maupun tak langsung (Staton, 1965:4, 19),
dan moral itu sendiri dapat dipandang sebagai salah satu wujud (dan atau bagian)
tema (Kenny, 1966:89).
C.
Tema
dan Unsur Cerita yang Lain
Tema dalam sebuah karya sastra, fiksi, hanyalan salah satu
dari sejumlah unsure pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah
kemenyeluruhan . Bahkan sebenarnya, eksistensi tema itu sendiri amat bergantung dari
berbagai unsur yang lain. Hal itu disebabkan tema, yang notabene “hanya” berupa makna atau gagasan dasar umum suatu cerita,
tak mungkin hadir tanpa unsure bentuk
yang menampungnya. Dengan demikian, sebuah tema baru akan menjadi makna cerita jika
ada dalam keterkaitannya dengan unsur-unsur ceritalainnya. Tema sebuah cerita tidak mungkin disampaikan secara
langsung, melainkan “hanya” secara imflisit melalui cerita. Unsur-unsur cerita
yang lain, khususnya yang oleh Stanton dikelompokkan sebagai faktor cerita-tokoh,
plot, latar-yang “bertugas” mendukung dan menyampaikan tema tersebut.
Di pihak lain unsur-unsur tokoh (dan
penokohan), plot (dan pemplotan), latar (dan pelataran), dan cerita,
dimungkinkan menjadi padu dan bermakna jika di ikat oleh sebuah tema. Tema bersifat
member koherensi dan makna terhadap keempat unsure tersebut dan juga berbagai
unsure fiksi yang lain. Tokoh-tokoh cerita, khususnya tokoh utama, adalah pembawa
dan pelaku cerita, pembuat, pelaku, dan penderita peristiwa-peristiwa yang
diceritakan .Dengan demikian, sebenarnya, tokoh-tokoh (utama) cerita inilah
yang “bertugas” (atau tepatnya: “ditugasi”) untuk menyampaikan tema yang
dimaksudkan oleh pengarang. Tentu saja berhubung fiksi merupakan karya seni,
penyampaian tema itu “seharusnya” tidak bersifat langsung, melainkan hanya melalui
tingkah laku (verbal dan nonverbal), pikiran dan perasaan, dan berbagai peristiwa
yang dialami tokoh itu. Tokoh Sadeli dalam Maut
dan Cinta, misalnya, adalah pejuang tegaknya kebenaran dan keadilan, dan sebaliknya
penentang penyelewengan dan kejahatan, dan hal itu merupakan makna utama yang
dikandung novel itu. Hanya, sebagai catatan tambahan, penyampaian makna itu agak
mencolok dan terkesan ditonjol-tonjolkan suatu hal yang sebenarnya justru dapat
mengurangi kadar ke litereran karya itu sendiri.
Plot, di pihak lain, berkaitan erat dengan
tokoh cerita. Plot pada hakikatnya adalah apa yang dilakukan oleh tokoh dan peristiwa
apa yang terjadi dan dialami oleh tokoh (Kenny, 95). Plot merupakan penyajian secara
linear tentang berbagai hal yang berhubungan dengan tokoh, maka pemahaman kita terhadap
cerita amat di tentukan oleh plot. Oleh karena itu, penafsiran terhadap tema
pun akan banyak memerlukan informasi dari plot. Dalam kaitannya dengan tokoh,
yang dipermasalahkan tak hanya apa yang dilakukan dan dialami oleh tokoh cerita,
melainkan juga apa jenis aktivitas atau kejadian nyaitu sendiri yang mampu memunculkan
konflik.
Latar merupkan tempat, saat, dan keadaan
sosial yang menjadi wadah tempat tokoh melakukan dan dikenai suatu kejadian. Latar
bersifat memberikan “aturan” permainan terhadap tokoh. Latar akan mempengaruhi tingkah
laku dan cara berpikir tokoh, dan karenanya akan mempengaruhi pemilihan tema.
Atau sebaliknya, tema yang (sudah) dipilih akan menuntut pemilihan latar (dan tokoh)
yang sesuai dan mampu mendukung. Dalam
novel Mautdan Cinta tersebut,
misalnya, ditampilkan latar kota-kota besar di luar negri di masa revolusi,
seperti Singapura, Bangkok, Hongkong, dengan tokoh dari kelas sosial tertentu
yang sesuai, yaitu seorang perwira militer yang jujur dan setia terhadap perjuangan,
sehingga mampu mendukung penyampaian tema seperti yang dimaksudkan. Pemilihan latar
yang kurang sesuai dengan unsure cerita yang lain, khususnya unsure tokoh dan tema,
dapat menyebabkan cerita kurang meyakinkan.
Kehadiran berbagai unsur instrinsik dalam
karya fiksi dimaksudkan untuk membangun cerita. Jadi, sama halnya dengan tema,
eksistensi cerita pun tergantung kehadiran unsur-unsur lain yang mendukungnya.
Namun, tema tidak sama dengan cerita. Tema merupakan dasar (umum) cerita, dan cerita
disusun dan dikembangkan berdasarkan tema. Tema “mengikat” pengembangan cerita.Atau
sebaliknya, cerita yang dikisahkan harus lah mendukung penyampaian tema.
Dengan demikian, diliat dari sudut ini,
cerita merupakan sarana untuk menyampaikan tema, makna, atau tujuan penulisan cerita
fiksi itu. Cerita (juga: unsur yang lain) dapat diibaratkan sebagai alat angkut,
kendaraan, yang berfungsi untuk membawa muatan (tema, makna) untuk disampaikan
kealamat yang dituju (:pembaca). Jika kendaraan itu lancer, mesin dan bagian-bagiannya
bagus, kemungkinan sampai ke alamat cukup besar. Sebaliknya, jika kendaraan itu
tidak baik, bagian-bagiannya banyak yang aus sehingga sering macet, kemungkinan
untuk sampai ke alamat lebih kecil atau lebih lama. Jadi, menarik tidaknya,
lancer atau tidaknya sebuah cerita, akan mempengaruhi penyampaian makna kepada pembaca.
Dalam pandangan yang demikian, terlihat bahwa tema dinomorsatukan, tema merupakan
segalanya.
Jika berhadapan dengan karya fiksi,
yang notabene cerita reakaan itu,
yang kita jumpai adalah cerita. Jika dikatakan bahwa yang utama itu adalah cerita,
sedang eksistensi cerita itu sendiri harus didukung oleh berbagai unsure pembangun
karya itu, termasuk didalamnya tema, ceritalah yang terlihat didewakan. Kita
tidak perlu mempertajam perbedaan penekanan tersebut. Yang jelas, kelancaran cerita
didukung oleh penempatan tema secara padu dan koherensif dengan unsur-unsur pembangun
yang lain, akan lebih baik dari pada cerita yang tersendat dan terlalu menonjolkan
tema. Novel-novel Sutan Takdir Alisyahbana seperti Kalah dan Menang, Grota Azzura, juga yang sudah muncul jauh sebelumnya:
Layar Terkembang, adalah beberapa contoh
novel yang terlalu dibebani tema, terlalu tendensius, sehingga ceritanya terasa
tersendat, bahkan seperti dikorbankan.
Perbedaan antara cerita dengan tema dapat
dicontohkan pada novel Takdir di atas. Layar
Terkembang mengisahkan percintaan Maria dan Yusuf, sementaraTuti, kakak
Maria, sibuk dengan urusan organisasi dan belum mempunyai pacar dan belum memikirkan
pacar. Maria kemudian di-TBC-kan dan akhirnya dimatikan, dan selanjutnya Tutilah
yang akan dikawinkan dengan Yusuf. Dilihat dari segi cerita, novel itu berbicara
masalah cinta, namun mungkin kita sepakat bahwa tema yang ingin disampaikan bukan
masalah cerita itu, melainkan sesuatu yang lain. Hal yang demikian juga terlihat
pada Grota Azzura. Novel ini mengisahkan
seorang pelarian politik dari Indonesia (masa pra-G-30-S/PKI), Ahmad yang
bertemu dan kemudian saling jatuh cinta, dan bercinta dengan amat menggebu,
dengan seorang gadis Prancis, Janet. Keduanya saling merasa takut untuk kehilangan
satud engan yang lain. Jadi, dari segi cerita, novel ini pun berbicara masalah cinta,
namun tema utamanya juga merupakan sesuatu yang lain.
D.
Penggolongan
Tema
Tema dapat digolongkan kedalam
beberapa kategori yang berbeda tergantung dari segimana penggolongan itu dilakukan.
Pengkategorian tema yang dikemukakan berikut dilakukan berdasarkan tiga sudut pandang,
yaitu penggolongan dikhotomis yang bersifat tradisional dan nontradisional,
penggolongan dilihat dari tingkat pengalaman jiwa menurut Shipley, dan penggolongan
dari tingkat keutamaannya.
1.
Tema tradisional dan Nontradisional
Tema tradisional dapat
dimaksudkan sebagai tema yang hanya “itu-itu” saja, dalam arti ia telah lama
dipergunakan dan dapat ditemukan berbagai cerita, termasuk cerita lama.
Pernyataan-pernyatan tema yang dapat dipandang sebagai bersifat tradisional
itu, misalnya berbunyi:
a. Kebenaran
dan keadilan mengalahkan kejahatan,
b. Tindak
kejahatan walau ditutup-tutupi akan terbongkar juga,
c. Tindak
kebenaran atau kejahatan masing-masing akan memetik hasilnya,
d. Cinta
yang sejati menuntut pengorbanan,
e. Kawan
sejati adalah kawan di masa duka,
f. Setelah
menderita orang baru mengingat Tuhan.
Menurut Meredith dan
Fitzgerald (1972: 66) tema-tema tradisional, walau banyak variasinya, boleh
dikatakan selalu ada kaitannya dengan masalah kebenaran dan kejahatan.
Selain hal-hal yang
bersifat tradisional, tema sebuah karya mungkin saja mengangkat sesuatu yang
tidak lazim, dikatakan sesuatu yang bersifat nontradisional. Tema yang
demikian, mungkin tidak sesuai dengan harapan pembaca, bersifat melawan arus,
mengejutkan, bahkan boleh jadi mengesalkan, mengecewakan atau berbagai reaksi
afektif yang lain. Berhadapan dengan cerita fiksi, pada umumnya orang
mengharapkan yang baik, yang jujur, yang bercinta, atau semua tokoh yang
digolongkan sebagai protagonis, akhirnya mengalami kemenangan kejayaan.
2.
Tingkatan Tema Menurut Shipley
Menurut Shipley (1962:
417) membedakan tema-tema karya sastra ke dalam tingkatan-tingkatan semuanya
ada lima tingkatan berdasarkan tingkatan pengalaman jiwa.
Pertama, tema tingkat
fisik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) molekul, man as
molecul. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan atau
ditunjukkan oleh banyaknya aktifitas fisik daripada kejiwaan.Ia lebih
menekankan mobilitas fisik daripada konflik kejiwaan tokoh cerita yang
bersangkutan.
Kedua, tema tingkat
organik manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) protoplasma, man as
protoplasm. Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut dan atau
mempersoalkan masalah seksualitas suatu aktivitas yang hanya dapat dilakukan
oleh makhluk hidup.
Ketiga, tema tingkat
sosial, manusia sebagai makhluk sosial, man as socious. Kehidupan
bermasyarakat yang merupakan tempat aksi interaksinya manusia dengan sesama dan
dengan lingkungan alam, objek pencarian tema (ekonomi, pollitik, pendidikan,
kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan atasn-bawahan, dan
lain-lain).
Keempat, tema tingkat
egoik, manusia sebagai individu, man as individualism.Disamping sebagai
makhluk sosial, manusia sekaligus juga sebagai makhluk individu yang senantiasa
“menuntut” pengakuan atas hak individualitasnya. Kedudukannya sebagai makhluk
individu, manusiapun mempunyai banyak permasalahan dan konflik, misalnya yang
berwujud reaksi manusia terhaadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya
(egoisitas, martabat, harga diri atau sifat dan sikap tertentu manusia lainnya,
yang pada umumnya bersifat batin dan
dirasakan oleh yang bersangkutan).
Kelima, tema tingkat divine,
manusia sebagai makhluk tingkat tinggi yang belum tentu setiap manusia
mengalami dan atau mencapainya. Masa yang menonjol dalam tingkat ini adalah
masalah hubungan manusia dengan Sang Pencipta, masalah religiositas, atau
berbagai masalah yang bersifat filosofis lainnya seperti pandangan hidup, visi,
dan keyakinan.
3.
Tema Utama dan Tema Tambahan
Makna cerita dalam
sebuah karya fiksi mungkin saja lebih dari satu atau lebih tepatnya lebih dari
satu (interpretasi).Hal inilah yang menyebabkan tidak mudahnya kita untuk
menentukan tema pokok cerita atau tema mayor, artinya makna pokok cerita yang
menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu.Makna pokok cerita tersirat
dalam sebagian besar untuk tidak dikatakan dalam keseluruhan cerita bukan makna
yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu saja.Makna yang hanya terdapat
pada bagian-bagian tertentu cerita dapat diidentifikasi sebagai makna bagian
makna tambahan.
Makna-makna tambahan
inilah yang dapat disebut sebagai tema-tema tambahan atau tema
minor.Makna-makna tambahan bukan merupakan sesuatu yang berdiri sendiri,
terpisah dari makna pokok cerita yang bersangkutan berhubung sebuah karya
(fiksi) yang jadi merupakan satu kesatuan.Makna pokok cerita bersifat merangkum
berbagai makna khusus, makna-makna tambahan yang terdapat pada karya itu.Atau
sebaliknya makna-makna tambahan itu bersifat mendukung dan atau mencerminkan
makna utama keseluruhan cerita.
D.
Penafsiran
Tema
Kegiatan menafsirkan
tema sebuah karya fiksi. Barangkali, merupakan tugas yang paling banyak
dibebankan kepada siswa. Semua orang yang pernah menjadi pelajar pasti
mengalami mendapat pertanyaan itu namun belum tentu terhadap aspek fiksi yang
lain. Walau demikian, tak jarang penugasan itu sendiri bersifat semu. Hal itu
disebabkan jangankan menafsirkan tema sebuah novel, membacanyapun belum tentu
mereka telah melakukannya. Dalam kegiatan pengajaran, jalan pintas yang sering
ditempuh guru adalah memberitahukan, bahkan mungkin sekali: mendiktekan, tema
novel-novel itu kepada siswa, suatu hal yang sebenarnya bersifat membiasakan
sisiwa untuk begitu saja mau menerima pendapat orang lain tanpa berusaha
sendiri. Hal itu akan semakin parah lagi jika tema yang didiktekan guru itu pun
hanya diperolehnya dari buku teks tanpa dikonfirmasikan ke novel aslinya.
Misalnya, banyak guru mengajarkan tema (utama) Sitti Nurbaya, sesuai dengan
buku teks pegangannya? Adalah kawin paksa. Padahal, jika kit abaca secara
teliti novel itu. Mungkin kita kurang menyetujui bahwa ia bertemakan kawin
paksa, sebagai gambaran, cobalah dipertanyakan: siapakah sebenarnya yang memaksa
Siti Nurbaya agar mau kawin dengan Datuk Maringgih itu? Selain itu, biasanya
dalam satu novel hanya ditunjukan satu tema, tanpa memberikan dalam satu novel
hanya ditunjukan satu tema, tanpa memberikan kemungkinan adanya tema-tema yang
lain, atau kurang member kesempatan sisiwa untuk menafsirkan sendiri tema
sebuah karya.
Tema
hadir bersama dan terpadu dengan unsur-unsur struktural yang lain sehingga yang
kita jumpai dalam sebuah novel adalah cerita. Tema tersembunyi dibalik cerita
itu. Jika pekerjaan menafsirkan itu sudah ditemukan, artinya kita sudah
menentukan tema karya novel yang bersangkutan, hasil penafsiran itu pun belum
tentu diterima orang lain. Kita pun tidak perlu memaksakan pendapat kita sebab
adanya perbedaan penafsiran yang demikian amat wajar. Namun, hasil penafsiran
yang diberikan hendaknya disertai alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Penafsiran
terhadap haruslah dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang ada secara keseluruhan
membangun cerita itu. Kita haruslah mulai dengan cara memahami cerita itu,
mencari kejelasan ide-ide perwatakan, peristiwa-peristiwa, dan latar. Selain
dengan cara-cara tersebut, sebaiknya juga disertai dengan usaha menemukan
konflik sentral yang ada dalam cerita itu.
Unsur
tokoh, plot, dan latar yang oleh Stanton dikategorikan ke dalam fakta cerita
berjalinan secara erat untuk mendukung tema. Jika bagi pengarang ketiga unsur
tersebut merupakan sarana utama untuk mendukung tema. Jika bagi pengarang ketiga
unsur tersebut merupakan sarana utama untuk menawarkan karyanya, bagi pembaca
hal itu merupakan sarana utama untuk memahami makna tersebut.
Dalam
usaha menemukan dan menafsirkan tema sebuah novel, secara lebih khusus dan
rinci, Stanton (1965: 22-3) mengemukakan adanya sejumlah kriteria yang dapat
diikuti seperti ditunjukan berikut.
1.
Penafsiran tema sebuah novel hendaknya
mempertimbangkan tiap detail cerita yang menonjol. Kriteria ini merupakan hal
yang paling penting. Hal itu disebabkan pada detil-detil yang menonjol (atau:
ditonjolkan) itulah yang dapat diidentifikasi sebagai tokoh, masalah, konflik
utama. Pada umumnya sesuatu yang ingin disampaikan ditempatkan. Kesulitan yang
mungkin dihadapi adalah dalam hal menemukan dan atau menentukan detil-detil
yang menonjol tersebut, apalagi jika novel yang bersangkutan relative panjang
dan sarat dengan berbagai konflik. Detail cerita yang demikian diperkirakan
berada di sekitar persoalan utama yang menyebabkan terjadinya konflik yang
dihadapi tokoh utama. Dengan kata lain, seperti telah dikemukakan. Tokoh,
masalah, konflik utama merupakan tempat yang paling strategis untuk
mengungkapkan tema utama sebuah novel.
2.
Penafsiran tema sebuah novel hendaknya
tidak bersifat bertentangan dengan tiap detail cerita. Novel, sebagai salah
satu genre sastra, merupakan suatu sarana pengungkapan keyakinan, kebenaran,
ide, gagasan, sikap, dan pandangan hidup pengarang, dan lain-lain yang
tergolong unsur isi dan sebagai sesuatu yang ingin disampaikan. Oleh kerena
itu, tentunya pengarang tak akan menjatuhkan sendiri sikap dan keyakinanya yang
diungkapkan dalam detil-detil tertentu lewat detil tertentu cerita yang
lainnya. Jika hal yang demikian terjadi. Cobalah diulangi sekali lagi hasil
penafsiran itu barangkali terjadi kesalahpahaman.
3.
Penafsiran tema sebuah novel hendaknya
tidak mendasarkan diri pada bukit-bukit yang tidak dinyatakan baik secara
langsung maupun tak langsung dalam novel yang bersangkutan. Tema dibayangkan
ada dalam cerita, atau informasi lain yang kurang dapat dipertanggungjawabkan
karena kurangnya bukti empiris. Tak jarang sejumlah pembaca membayangkan tema
sebagai sesuatu yang filosofis, muluk, dan jika dalam cerita ternyata tak
ditemui harapannya itu, mereka seolah-olah tetap memaksakannya sebagai ada
ditemui.
4.
Penafsiran tema sebuah novel haruslah
mendasarkan diri pada bukti-bukti yang secara langsung ada atau yang disarankan
dalam cerita. Kriteria ini mempertegas kriteria ketiga di atas. Penunjukkan
tema sebuah cerita haruslah dapat dibuktikan dengan data-data atau detil-detil
cerita yang terdapat dalam cerita itu. Baik yang berupa bukti-bukti langsung,
artinya hanya berupa penafsiran terhadap kata-kata yang ada. Dalam sebuah
novel, kadang-kadang, dapat ditemui adanya data-data tertentu, mungkin berupa
kata-kata, kalimat, alinea, atau bentuk dialog, yang dapat dipandang sebagai
bentuk yang berisi tema pokok cerita yang bersangkutan.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Tema dalam sebuah
karya sastra, fiksi, hayalan salah satu dar isejumlah unsure pembangun cerita
yang lain. Bahkan sebenarnya, eksistensi tema itu sendiri amat bergantung dari berbagai
unsur yang lain. Hal itu disebabkan tema, yang notabene “hanya” berupa makna atau gagasan dasar umum suatu cerita,
tak mungkin hadir tanpa unsure bentuk yang menampungnya. Dengan demikian,
sebuah tema baru akan menjadi makna cerita jika ada dalam keterkaitannya dengan
unsur-unsur ceritalainnya. Tema dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori diantaranya
tema tradisional dan nontradisional, tingkatan tema menurut Shipley, tema utama
dan tema tambahan.
Untuk menentuakan
tema sebuah karya fiksi, ia haruslah disimpulakan dari keseluruhan cerita, tidak
hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Pengarang memilih dan mengagkat
berbagai masalah hidup dan kehidupan itu menjadi tema dan atau sub-sub tema ke dalam
karya fiksi sesuai dengan pengalaman, pengamatan, dan aksi-interaksinya dengan lingkungan.
Saran
Setelah memahami dan menguasai seluk beluk tentang
tema, diharapkan pembaca dapat membuat tema yang baik dan benar agar tidak
terjadi kekeliruan dalam pembahasan atau
penganalisisan suatu karya sastra.
Daftar Pustaka
Nurgiyantoro, Burhan. (2002). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.