Tuesday 11 October 2016

Makalah Tema

TEMA


MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Kajian Prosa Fiksi




Oleh:

Rizal Friady    152121167




  
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SILIWANGI
TASIKMALAYA
2015



KATA PENGANTAR

 Segala puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayahnya kami dapat menyusun sebuah makalah yang membahas tentang “ Tema” meskipun bentuknya sangat jauh dari kesempurnaan, selanjutnya salawat dan salam kami kirimkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW sebagaimana beliau telah mengangkat derajat manusia dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang.
Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen yang membimbing mata kuliah Kajian Prosa Fiksi atas bimbingannya. Kami juga mengharapkan agar makalah ini dapat dijadikan pedoman apabila pembaca melakukan hal yang berkaitan dengan makalah ini karena apalah gunanya kami membuat makalah ini apabila tidak dimanfaatkan dengan baik.
Sebagai manusia biasa tentu kami tidak dapat langsung menyempurnakan makalah ini dengan baik. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari dosen pembimbing mau pun pembaca.


Tasikmalaya,   September 2016

                                                  
                  Penyusun




DAFTAR ISI
KataPengantar.................................................................................................. i
Daftar Isi.......................................................................................................... ii
BAB IPENDAHULUAN
A.    Latar Belakang............................................................................. 1
B.     Rumusan Masalah........................................................................ 2
C.     TujuanPenulisan........................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Hakikat Tema.............................................................................. 3
B.     Tema: Mengangkat Masalah Kehidupan..................................... 8
C.     Tema dan Unsur Cerita yang Lain.............................................. 12
D.    Penggolongan Tema.................................................................... 16
E.     Penafsiran Tema.......................................................................... 20
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan.................................................................................. 24
B.     Saran............................................................................................ 25
DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN

A.                 Latar Belakang
Setiap kali membaca karya novel maupun karya fiksi, bagi para pembaca pastilah tidak hanya bertujuan untuk membaca alur ceritanya saja, tetapi pembaca juga akan mempertanyakan apa yang ingin diungkapkan pengarang melalui karyanya atau apa makna yang terkandung yang ingin disampaikan pengarang lewat isi cerita tersebut. Mempertanyakan makna sebuah karya sastra, sebenarnya juga mempunyai arti mempertanyakan tema yang terkandung di dalam karya sastra tersebut. Setiap karya sastra maupun karya fiksi pastilah mengandung atau menawarkan sebuah tema yang terkandung di dalam cerita, namun apa isi tema itu sendiri tidak mudah ditunjukan.
Semi (1984:35) menyatakan bahwa tema merupakan suatu gagasan sentral, sesuatu yang hendak diperjuangkan dalam suatu tulisan atau karya fiksi. Sedangkan Muhardi dan Hasanudin (1992:8) menyatakan bahwa tema adalah inti permasalahan yang hendak dikemukakan pengarang dalam karyanya. Oleh sebab itu tema merupakan hasil konkluksi dari berbagai peristiwa yang terkait dengan penokohan dan latar. Jadi dapat disimpulkan bahwa tema yaitu suatu pokok / inti persoalan yang mendasari suatu cerita.
Untuk menemukan sebuah tema dalam sebuah karya fiksi, ia haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu dari cerita (Nugiantoro, 1995:68) walau tema sulit ditemukan secara pasti, ia bukanlah makna yang ”disembunyikan”, walau belum tentu juga dilukiskan secara eksplisit. Dalam makalah ini, penulis akan menjabarkan dan menerangkan apa itu hakikat tema, penggolongan tema, serta penafsiran tema dalam sebuah karya fiksi.

B.                Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.        Apa hakikat tema?
2.        Apa tema mengangkat masalah kehidupan?
3.        Apa tema dan unsur cerita yang lain?
4.        Bagaimana penggolongan tema?
5.        Bagaimana penafsiran tema?

C.                Tujuan Penulisan
Sejalan dengan rumusan di atas, makalah ini disusun dengan tujuan untuk:
1.        Mengetahui hakikat tema.
2.        Mengetahui tema mengangkat masalah kehidupan.
3.        Mengetahui tema dan unsur cerita yang lain.
4.        Mengetahui penggolongan tema.
5.        Mengetahui penafsiran tema.

BAB II
PEMBAHASAN

A.                Hakikat Tema
Mempertanyakan makna sebuah karya, juga berarti mempertanyakan tema. Setiap karya fiksi tentulah mengandung dan atau menawarkan tema, namun apa isi tema itu sendiri yak mudah ditunjukkan. Ia haruslah dipahami dan ditafsirkan melalui cerita dan data-data (baca:unsur-unsur pembangun cerita) yang lain, dan itu merupakan kegiatan yang sering tidak mudah dilakukan. Kwsulitan itu sejalan dengan kesulitan yang sering kita hadapi jika kita diminta untuk mendefinisika tema.
Usaha mendefinisikan tema sebagaimana halnya dengan pendefinisian masalah lain, misalnua sastra juga tak mudah, khususnya definisi yang dapat mewakili substansi sesuatu yang didefinisikan itu.
Masalah seperti itulah yang sering kita jumpai terhadap persoalam tema, baik untuk menjelaskan pengertian tema sebagi salah satu unsur karya sastra maupun untuk mendeskripsikan pernyataan tema yang di kandung dan ditawarkan oleh sebuah cerita novel. Kedua hal itu memang berkaitan. Kejelasan pengertian tema akan membantu usaha penafsiran dan pendeskripsian pernyataan tema sebuah karya fiksi. Tema (theme), menurut Stanton (1965:20) dan Kenny (1966: 88), adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Namun, ada banyak makna yang dikandung dan ditawarkan oleh cerita (novel) itu, maka masalahnya adalah makna khusus yang mana yang dapat dinyatakan sebagai tema itu. Atau, jika berbagai makna itu dianggap sebagai bagian-bagian tema, sub-subtema atau tema-tema tambahan.
Untuk memperjelas masalah itu, kita ambil sebagai contoh misalnya novel salah asuhan. Ada banyak makna yang dapat disarikan dari novel itu. Makna yang dimaksud, untuk menyebutkan beberapa yang terpenting saja, adalah: (1) masalah kawin paksa, Hanafi dipaksa kawin dengan Rafiah oleh ibunya, dengan alasan semacam "balas jasa" karena ayah Rapiah telah membiayai sekolah Hanafi di samping keduanya masih sepupu; (2) masalah penolakan "payung" (kebangsaan) sendiri, Hanafi lebih suka menjadi warga bangsa (negafa) Belanda daripada tetap sebagi warga bangsa Indonesia karena hal itu dianggapnya lebih bergengsi dan mencerminkan status sosial; (3) masalah perkawinan antar bangsa, perkawinan campuran antara Barat dan Timur, Hanafi kawin dengan Corrie setelah sebelumnya menceraikan Rafiah, dan hal itu ditambah dengan makna kedua menyebabkan mereka tersisih sehingga memicu munculnya banyak masalah-konflik; (4) kesalahan mendidik anak dapat berakibat fatal. Hanafi oleh ibunya disekolahkan secara Barat, maksudnya agar lebih maju, namun ternyata ia menjadi bersikap sombong, kebarat-baratan, bahkan lebih bersikap kebarat-baratan daripada orang Barat sendiri, dan amat memandang rendah bangsa sendiri.
Dari keempat makna tersebut dapat dipertanyakan makna yang manakah yang memiliki kriteria tertentu sehingga dapat dianggap sebagai makna pokok, atau tema pokok, novel salah asuhan itu?

Untuk menentukan makna pokok sebuah novel, kita perlu memiliki kejelasan pengertian tentang makna pokok, atau tema, itu sendiri. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang rerkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan menyangkut persamaan-persaman atau perbedaan-perbedaan (Hartoko & Rahmanto, 1986:142). Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan sitiasi tertentu. Tema dalam banyak hal bersikap "mengikat"  kehadiran atau ketidak hadiran peristiwa, konflik, situasi tertentu, termasuk berbagai unsur instrinsik yang lain, karena hal-hal tersebut haruslah bersifat mendukung kejelasan tema yang ingin disampaikan. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifay menjiwai seluruh bagian cerita itu. Tema mempunyai generalisasi yang umum, lebih luas, dan abstrak.
Dengan demikian, untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, oa haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertenti cerita. Tema, walau sulit ditentukan secara pasti, bukanlah makna yang "disembunyikan", walau belum tentu juga dilukiskan secara eksplisit. Tema sebagai makan pokok sebuah karya fiksi tidak (secara sengaja) disembunyikan karena justru hal inilah yang ditawarkan kepada pembaca. Namun, tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan "tersembunyi" di balik cerita yang mendukungnya.
Sebagai sebuah makna, pada umumnya tema tidak dilukiskan, palingtidak pelukisan yang secara langsung atau khusus. Eksistensi dan atau kehadiran tema adalah teumplisit dan memasuki keseluruhan cerita, dan inilah yang menyebabkan kecilnya kemungkinan pelukisan secara langsung tersebut. Hal ini pulalah antara lain yang menyebabkan tidak mudahnya penafsiran tema. Penafsiran tema (utama) diprasyarati oleh pemahaman cerita secara keseluruhan. Namun, adakalanya dapat juga ditemukan adanya kalimat-kalimat (atau: alinea-alinea, percakapan) tertentu yang dapat ditafsirkan sebagai sesuatu yang emngandung tema pokok.
Berdasarkan kriteria bahwa makna utama (baca: tema pokok) bersifat merasuki keseluruhan cerita, makna yang manakah yang dapat dianggap sebagai tema pokok di angara keempat makna yang dikemukakan pada novel salah asuhan? Apakah makan pertama tentang kawin paksa merupakan tema pokok seperti yang "dituduhkan" orang terhadap umunnya sastra Balai Pustaka? Tampaknya bukan, sebab makna itu hanya sebagian kecil dari keseluruhan peristiwa dengan cerita yang panjang. Apakah makna kedua tentang penolkan kebangsaan sendiri tentang merupakan tema pokok? Tampaknya ia juga bukan, sebab hal itu hanya muncul dalam kaitannya dengan rencana (baca: persyaratan) pelaksanaan perkawinan Timur-Barat, dan masih banyak makna lain yang tidak tersiratkan. Apakah makna ketiga tentang perkawinan Timur-Barat merupakan tema pokok? Masalah ini walau memixu timbulnya berbagaj peristiwa-konflik, tampakanya juga buka merupakan tema utama. Sebab masih ada makna-makna lain yang tidak tercakup di dalamnya, termasuj masalah kawin paksa, yang tidak seperti umumnya novek pada waktu itu, tidak menimbulkan sikap antipati pembaca, dan bahkan sebaliknya. Makna yamg keempat tentang kesalahan mendidik anak, kiranya memiliki kemungkinan terbesar untuk dinyatakan sebagai tema utama. Hal itu disebabkab berbagai peristiwa konflik berawal dan disebabkan sikap Hanafi yang kebarat-baratan dan memandang rendah bangsanya. Karena sikapnya inilah ia memperlakukan Rapiah dan ibunha sebagi budaj saja layaknha, rela mencampakkan "payung"-nya, suatu hal yang dianggap kurang baik pada wakgu itu, karena dikonotasikan sebagai lambang kekolotan, demi cintanya kepada gadis Indo, Corrie yang dianggap dapat mengangkat martabat dirinya setingkat dengan bangsa Eropa yang dikonotasikan sebagai lambang kemodernan.
Pertimbangan penentuan tema utama seperti dicontohkan diatas jug didasarkan pada pengertian tema menurut Stanton (1965:21) yaitu yang mengartikan tema sebagai "makna sebuah cerita yang secata khudus menerangkan sebagian besar insurnya dengan cara yang sederhana". Tema, menurutnya kurang lebih dapay bersinonim dengan ide utama (central idea) dan tujuan utama (cental purpose)
Tema dengan dengan, dapat dipandang sebagu dasar cerita gagasan dasar umum, sebuah karya novel. Gagasan dasar umum inilah yangbtrntunya telah ditentukan sebelumnya oleh pengarang yang dipergunakan untuk mengembangkan ceruta. Dengan kata lain, ceruta tentunga "setia" mengikuti gagasan dasar umum yang telah ditetapkan sebelumnya sehingga berbagai peristiwa konflik dan pemiliham berbagai unsur instrinsik yang lain seperti penokohan, pelataran, dan penyudut pandangan di usahakan mencerminkan gagasan dasar umum tersebut. Jika cerita telah ditetapkan dilihat dari sudut pengaranf misalnya ditulis dalam bentuk pernyataan kerangka cerita, perwatakan para tokoh dan lain-lain pun segera dapat dibayangkan. Walau demikian, diakui oleh banyak pengaranf pikiran semula, ide-ide cerita tidak jarang akan berkembang sesuai dengan "kemauanya" sendiri.
Apa yang ditunjukkan di atas memperlihatkan bahwa dasar (utama) cerita sekaligus berarti tujuan (utama) cerita. Jika pengembangan cerita, hal itu bertujuan agar dasar, gagasan dasr umum, atau sesuatu yang ingin dikemukakan itu dapat diterima oelh pembaca. Jika dilihat dari sudut pengarang dasar cerita dipakai sebagai panutan pengembangan cerita, dilihay dari sudut pembaca ia akan bersifat sebaliknya. Berdasarkan cerita yang dibeberkan (baca: dikembangkan) itulah pembaca berusaha menafsirkan apa dasar utama cerita itu, apa ta cerita itu, dan hal itu akan dilakukan berdasarkan detil-detil unsur yang terdapat dalam karya yang bersangkutan.

B.       Tema: Mengangkat Masalah Kehidupan
Masalah hidup dan kehidupanyang dihadapi dan dialami manusia amat luas dan kompleks, seluas dan sekompleks permasalahan kehidupan yang ada. Walau permasalahan yang dihadapi manusia tidak sama, ada masalah-masalah kehidupan tertentu yang bersifat universal. Artinya, hal itu akan dialami oleh setiap orang dimanapun dan kapanpun walau dengan tingkat intensitas yang tidak sama. Misalnya,hal-hal yang berkaitan dengan masalah cinta, rindu, cemas, takut, maut, religius, nafsu dan lain-lain. Novel, yang dapat dipandangsebagai hasil dialog mengangkat dan mengungkapkan kembali berbagai permasalahan hidup dan kehidupan tersebut setelah melewati penghayatan yang intens, selektif-subjektif, dan diolah dengan daya imajinatif-kreatif oleh pengarang ke dalam bentuk dunia rekaan.
                Pengarang memilih dan mengangkat berbagai masalah hidup dan kehidupan itu menjadi tema dan atau sub-subtema ke dalam karya fiksi sesuai dengan pengalaman, pengamatan, dan aksi interaksinya dengan lingkungan. Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna (pengalaman) kehidupan. Melalui karyanya itulah pengarang menawarkan makna tertentu kehidupan, mengajak pembaca untuk melihat, merasakan, dan menghayati makna (pengalaman) kehidupan tersebut dengan cara memandang permasalahan itu sebagaimana ia memandangnya. Selesai membaca sebuah karya novel, mungkin sekali kita akan merasakan sesuatu yang belum dirasakan sebelumnya mungkin berupa keharuan, ikut merasakan penderitaan atau kebahagiaan seperti yang dialami tokoh, atau berbagai reaksi emotif yang lain yang dapat menyebabkan kita mengalami perubahan dalam menyikapi hidup dan kehidupan ini.
                Berbagai masalah dan pengalaman kehidupan yang banyak diangkat ke dalam karya fiksi, baik berupa pengalaman yang bersifat individual maupun sosial, adalah cinta (sampai atau tak sampai, terhadap kekasih, orang tua, saudara, tanah air, atau yang lain), kecemasan, dendam, kesombongan, takut, maut, religius, harga diri, dan juga kesetiakawanan, penghianatan, kepahlawanan, keadilan dan kebenaran, dan sebagainya. Pemilihan tema-tema tertentu ke dalam sebuah karya, sekali lagi, bersifat subjektif: masalah kehidupan manakah yang paing menarik perhatian pengarang sehingga merasa terdorong untuk mengungkapkannya ke dalam bentuk karya. Atau, pengarang menganggap masalah itu penting, mengharukan, sehingga ia merasa perlu untuk mendialogkannya ke dalam karya sebagai sarana mengajak pembaca untuk ikut mengungkapkannya.
                Masalah cinta tak sampai, misalnya, diangkat menjadi tema dalam banyak novel seperti Azab dan Sengsara, Siti Nurbaya, Si Cebol Rindukan Bulan, Di bawah Lindungan Kabah, dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, masing-masing oleh Merari Siregar. Marah Rusli, Aman Datuk Modjoindo, dan Hamka. Masalah takut diangkat oleh Mochtar Lubis sebagai tema dalam Jalan Tak Ada Ujung, masalah keadilan dan kebenaran dalam Harimau! Harimau! Dan Maut dan Cinta, atau masalah kurangnya perhatian orang tua terhadap anak dalam Tanah Gersang. Masalah religiolitas (yang bersifat problematis) ditawarkan Navis dalam cerpen Robohnya Surau Kami, dan Datangnya dan Perginya, serta novel Kemarau. Masalah perjuangan melawan penjajah diangkat Nugroho dalam cerpen-cerpennya yang terkumpul dalam Hujan Kepagian dan Trisnoyuwono dalam Laki-laki dan Mesiu, masalah pemertahanan harga diri ditampilkan Nasyah Jamin dalam Gairah untuk Hidup dan untuk Mati, dan sebagainya.
                Dialog lewat novel kata H.B. Mangunwijaya (kompas, 23 juli 1981), jika digarap dengan serius akan sanggup mengajak pemikiran, tidak saja dengan otak, melainkan juga dengan perasaan, serta ungkapan manusiawi lainnya. Novel dapat menyampaikan dialog yang mampu menggerakkan hati masyarakat pembaca, memengaruhi, dan membentuk opininya. Lewat novel, pembaca dapat diajak melakukan eksplorasi dan penemuan diri. Namun, hal itu tidak berarti bahwa tema kemanusiaan yang ingin didialogkan harus ditonjolkan sedemikian rupa sehingga "mengalahkan" unsur-unsur fiksi yang lain, melainkan haruslah tetap berada dalam proporsi yang semestinya sebagaimana halnya penulisan karya seni yang menekankan tujuan estetik.
Seperti telah dikemukakan, fiksi menawarkan suatu kebenaran yang sesuai dengan keyakinan dan tanggung jawab kreativitas pengarang dan itu mungkin tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan kebenaran di dunia nyata. Masalah kebenaran disini ada kaitannya dengan tema, tema yang ingin disampaikan dilakukan dengan cara "pembenaran" sesuatu, baik ia berupa peristiwa, konflik, perwatakan tokoh, hubungan tokoh, maupun unsur-unsur lain yang terkait. Usaha pembenaran itu biasanya ditandai dengan penampilan kejadian dan penokohan yang terasa dilebih-lebihkan (Meredith & Fitgerald, 1970:70). Namun, semuanya itu ditempuh untuk lebih meyakinkan pembaca akan kebenaran yang ditawarkan itu.
Novel Pada Sebuah Kapal karya Dini, misalnya menceritakan kehidupan tokoh Sri yang tidak bahagia dengan suaminya, Charles Vincent, yang kasar, egois, dan tak mengerti perasaan wanita (baca: Sri, istrinya) serta jauh dari tokoh idamannya. Dalam perjalanan ke Perancis lewat laut, Sri jatuh cinta kepada kapten kapal yang ditumpanginya. Michel, sang kapten itu, ternyata memiliki latar belakang kehidupan keluarga yang mirip dengannya (yang tak bahagia dengan istrinya yang selalu ceriwis, mau menang sendiri, apalagi ia lima tahun lebih tua darinya) maka Sri dan Michel saling jatuh cinta dan melakukan hubungan tubuh. Walau demikian, Sri sama sekali tidak merasa berdosa (atau merasa berkhianat pada suami). Ia melakukannya dengan sadar dan setulus hati karena didorong oleh perasaan cintanya, dan bukan semata-mata karena dorongan kebutuhan biologis.
Melihat perbuatan yang dilakukan oleh Sri, jika memahami latar belakang penyebabnya, juga Michel pasangannya, kita pembaca (tentu saja tidak semua, mungkin) akan memberikan sikap simpati dan menerima kejadian itu sebagai sesuatu yang wajar dan manusiawi. Namun jika hal itu dihadapkan pada kebenaran agama yang berlaku didunia nyata, perbuatan itu tidak dibenarkan sama sekali dan keduanya dikutuk. dilihat dari segi ini, novel itu mungkin menawarkan kebenaran tema "apa salahnya seorang wanita menyeleweng jika dirumah tangganya tidak menemui kebahagiaan, disamping penyelewengan toh tidak hanya menjadi monopoli kaum lelaki". Dengan demikian, kita akan berhadapan dengan penilaian moral, dan mungkin sekali tema berisi penilaian (kembali) suatu moral (mungkin juga pandangan hidup) baik secara langsung maupun tak langsung (Staton, 1965:4, 19), dan moral itu sendiri dapat dipandang sebagai salah satu wujud (dan atau bagian) tema (Kenny, 1966:89).

C.      Tema dan Unsur Cerita yang Lain
            Tema dalam sebuah karya sastra, fiksi, hanyalan salah satu dari sejumlah unsure pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah kemenyeluruhan . Bahkan sebenarnya,  eksistensi tema itu sendiri amat bergantung dari berbagai unsur yang lain. Hal itu disebabkan tema, yang notabene “hanya” berupa makna atau gagasan dasar umum suatu cerita,  tak mungkin hadir tanpa unsure bentuk yang menampungnya. Dengan demikian, sebuah tema baru akan menjadi makna cerita jika ada dalam keterkaitannya dengan unsur-unsur ceritalainnya.  Tema sebuah cerita tidak mungkin disampaikan secara langsung, melainkan “hanya” secara imflisit melalui cerita. Unsur-unsur cerita yang lain, khususnya yang oleh Stanton dikelompokkan sebagai faktor cerita-tokoh, plot, latar-yang “bertugas” mendukung dan menyampaikan tema tersebut.
            Di pihak lain unsur-unsur tokoh (dan penokohan), plot (dan pemplotan), latar (dan pelataran), dan cerita, dimungkinkan menjadi padu dan bermakna jika di ikat oleh sebuah tema. Tema bersifat member koherensi dan makna terhadap keempat unsure tersebut dan juga berbagai unsure fiksi yang lain. Tokoh-tokoh cerita, khususnya tokoh utama, adalah pembawa dan pelaku cerita, pembuat, pelaku, dan penderita peristiwa-peristiwa yang diceritakan .Dengan demikian, sebenarnya, tokoh-tokoh (utama) cerita inilah yang “bertugas” (atau tepatnya: “ditugasi”) untuk menyampaikan tema yang dimaksudkan oleh pengarang. Tentu saja berhubung fiksi merupakan karya seni, penyampaian tema itu “seharusnya” tidak bersifat langsung, melainkan hanya melalui tingkah laku (verbal dan nonverbal), pikiran dan perasaan, dan berbagai peristiwa yang dialami tokoh itu. Tokoh Sadeli dalam Maut dan Cinta, misalnya, adalah pejuang tegaknya kebenaran dan keadilan, dan sebaliknya penentang penyelewengan dan kejahatan, dan hal itu merupakan makna utama yang dikandung novel itu. Hanya, sebagai catatan tambahan, penyampaian makna itu agak mencolok dan terkesan ditonjol-tonjolkan suatu hal yang sebenarnya justru dapat mengurangi kadar ke litereran karya itu sendiri.
            Plot, di pihak lain, berkaitan erat dengan tokoh cerita. Plot pada hakikatnya adalah apa yang dilakukan oleh tokoh dan peristiwa apa yang terjadi dan dialami oleh tokoh (Kenny, 95). Plot merupakan penyajian secara linear tentang berbagai hal yang berhubungan dengan tokoh, maka pemahaman kita terhadap cerita amat di tentukan oleh plot. Oleh karena itu, penafsiran terhadap tema pun akan banyak memerlukan informasi dari plot. Dalam kaitannya dengan tokoh, yang dipermasalahkan tak hanya apa yang dilakukan dan dialami oleh tokoh cerita, melainkan juga apa jenis aktivitas atau kejadian nyaitu sendiri yang mampu memunculkan konflik.
            Latar merupkan tempat, saat, dan keadaan sosial yang menjadi wadah tempat tokoh melakukan dan dikenai suatu kejadian. Latar bersifat memberikan “aturan” permainan terhadap tokoh. Latar akan mempengaruhi tingkah laku dan cara berpikir tokoh, dan karenanya akan mempengaruhi pemilihan tema. Atau sebaliknya, tema yang (sudah) dipilih akan menuntut pemilihan latar (dan tokoh) yang sesuai dan mampu mendukung.  Dalam novel Mautdan Cinta tersebut, misalnya, ditampilkan latar kota-kota besar di luar negri di masa revolusi, seperti Singapura, Bangkok, Hongkong, dengan tokoh dari kelas sosial tertentu yang sesuai, yaitu seorang perwira militer yang jujur dan setia terhadap perjuangan, sehingga mampu mendukung penyampaian tema seperti yang dimaksudkan. Pemilihan latar yang kurang sesuai dengan unsure cerita yang lain, khususnya unsure tokoh dan tema, dapat menyebabkan cerita kurang meyakinkan.
            Kehadiran berbagai unsur instrinsik dalam karya fiksi dimaksudkan untuk membangun cerita. Jadi, sama halnya dengan tema, eksistensi cerita pun tergantung kehadiran unsur-unsur lain yang mendukungnya. Namun, tema tidak sama dengan cerita. Tema merupakan dasar (umum) cerita, dan cerita disusun dan dikembangkan berdasarkan tema. Tema “mengikat” pengembangan cerita.Atau sebaliknya, cerita yang dikisahkan harus lah mendukung penyampaian tema.
            Dengan demikian, diliat dari sudut ini, cerita merupakan sarana untuk menyampaikan tema, makna, atau tujuan penulisan cerita fiksi itu. Cerita (juga: unsur yang lain) dapat diibaratkan sebagai alat angkut, kendaraan, yang berfungsi untuk membawa muatan (tema, makna) untuk disampaikan kealamat yang dituju (:pembaca). Jika kendaraan itu lancer, mesin dan bagian-bagiannya bagus, kemungkinan sampai ke alamat cukup besar. Sebaliknya, jika kendaraan itu tidak baik, bagian-bagiannya banyak yang aus sehingga sering macet, kemungkinan untuk sampai ke alamat lebih kecil atau lebih lama. Jadi, menarik tidaknya, lancer atau tidaknya sebuah cerita, akan mempengaruhi penyampaian makna kepada pembaca. Dalam pandangan yang demikian, terlihat bahwa tema dinomorsatukan, tema merupakan segalanya.
            Jika berhadapan dengan karya fiksi, yang notabene cerita reakaan itu, yang kita jumpai adalah cerita. Jika dikatakan bahwa yang utama itu adalah cerita, sedang eksistensi cerita itu sendiri harus didukung oleh berbagai unsure pembangun karya itu, termasuk didalamnya tema, ceritalah yang terlihat didewakan. Kita tidak perlu mempertajam perbedaan penekanan tersebut. Yang jelas, kelancaran cerita didukung oleh penempatan tema secara padu dan koherensif dengan unsur-unsur pembangun yang lain, akan lebih baik dari pada cerita yang tersendat dan terlalu menonjolkan tema. Novel-novel Sutan Takdir Alisyahbana seperti Kalah dan Menang, Grota Azzura, juga yang sudah muncul jauh sebelumnya: Layar Terkembang, adalah beberapa contoh novel yang terlalu dibebani tema, terlalu tendensius, sehingga ceritanya terasa tersendat, bahkan seperti dikorbankan.
            Perbedaan antara cerita dengan tema dapat dicontohkan pada novel Takdir di atas. Layar Terkembang mengisahkan percintaan Maria dan Yusuf, sementaraTuti, kakak Maria, sibuk dengan urusan organisasi dan belum mempunyai pacar dan belum memikirkan pacar. Maria kemudian di-TBC-kan dan akhirnya dimatikan, dan selanjutnya Tutilah yang akan dikawinkan dengan Yusuf. Dilihat dari segi cerita, novel itu berbicara masalah cinta, namun mungkin kita sepakat bahwa tema yang ingin disampaikan bukan masalah cerita itu, melainkan sesuatu yang lain. Hal yang demikian juga terlihat pada Grota Azzura. Novel ini mengisahkan seorang pelarian politik dari Indonesia (masa pra-G-30-S/PKI), Ahmad yang bertemu dan kemudian saling jatuh cinta, dan bercinta dengan amat menggebu, dengan seorang gadis Prancis, Janet. Keduanya saling merasa takut untuk kehilangan satud engan yang lain. Jadi, dari segi cerita, novel ini pun berbicara masalah cinta, namun tema utamanya juga merupakan sesuatu yang lain.

D.                Penggolongan Tema
Tema dapat digolongkan kedalam beberapa kategori yang berbeda tergantung dari segimana penggolongan itu dilakukan. Pengkategorian tema yang dikemukakan berikut dilakukan berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu penggolongan dikhotomis yang bersifat tradisional dan nontradisional, penggolongan dilihat dari tingkat pengalaman jiwa menurut Shipley, dan penggolongan dari tingkat keutamaannya.
1.                  Tema tradisional dan Nontradisional
Tema tradisional dapat dimaksudkan sebagai tema yang hanya “itu-itu” saja, dalam arti ia telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan berbagai cerita, termasuk cerita lama. Pernyataan-pernyatan tema yang dapat dipandang sebagai bersifat tradisional itu, misalnya berbunyi:
a.    Kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan,
b.    Tindak kejahatan walau ditutup-tutupi akan terbongkar juga,
c.    Tindak kebenaran atau kejahatan masing-masing akan memetik hasilnya,
d.   Cinta yang sejati menuntut pengorbanan,
e.    Kawan sejati adalah kawan di masa duka,
f.     Setelah menderita orang baru mengingat Tuhan.
Menurut Meredith dan Fitzgerald (1972: 66) tema-tema tradisional, walau banyak variasinya, boleh dikatakan selalu ada kaitannya dengan masalah kebenaran dan kejahatan.
Selain hal-hal yang bersifat tradisional, tema sebuah karya mungkin saja mengangkat sesuatu yang tidak lazim, dikatakan sesuatu yang bersifat nontradisional. Tema yang demikian, mungkin tidak sesuai dengan harapan pembaca, bersifat melawan arus, mengejutkan, bahkan boleh jadi mengesalkan, mengecewakan atau berbagai reaksi afektif yang lain. Berhadapan dengan cerita fiksi, pada umumnya orang mengharapkan yang baik, yang jujur, yang bercinta, atau semua tokoh yang digolongkan sebagai protagonis, akhirnya mengalami kemenangan kejayaan.
2.                  Tingkatan Tema Menurut Shipley
Menurut Shipley (1962: 417) membedakan tema-tema karya sastra ke dalam tingkatan-tingkatan semuanya ada lima tingkatan berdasarkan tingkatan pengalaman jiwa.
Pertama, tema tingkat fisik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) molekul, man as molecul. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan atau ditunjukkan oleh banyaknya aktifitas fisik daripada kejiwaan.Ia lebih menekankan mobilitas fisik daripada konflik kejiwaan tokoh cerita yang bersangkutan.
Kedua, tema tingkat organik manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) protoplasma, man as protoplasm. Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut dan atau mempersoalkan masalah seksualitas suatu aktivitas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup.
Ketiga, tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial, man as socious. Kehidupan bermasyarakat yang merupakan tempat aksi interaksinya manusia dengan sesama dan dengan lingkungan alam, objek pencarian tema (ekonomi, pollitik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan atasn-bawahan, dan lain-lain).
Keempat, tema tingkat egoik, manusia sebagai individu, man as individualism.Disamping sebagai makhluk sosial, manusia sekaligus juga sebagai makhluk individu yang senantiasa “menuntut” pengakuan atas hak individualitasnya. Kedudukannya sebagai makhluk individu, manusiapun mempunyai banyak permasalahan dan konflik, misalnya yang berwujud reaksi manusia terhaadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya (egoisitas, martabat, harga diri atau sifat dan sikap tertentu manusia lainnya,  yang pada umumnya bersifat batin dan dirasakan oleh yang bersangkutan).
Kelima, tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi yang belum tentu setiap manusia mengalami dan atau mencapainya. Masa yang menonjol dalam tingkat ini adalah masalah hubungan manusia dengan Sang Pencipta, masalah religiositas, atau berbagai masalah yang bersifat filosofis lainnya seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan.
3.                  Tema Utama dan Tema Tambahan
Makna cerita dalam sebuah karya fiksi mungkin saja lebih dari satu atau lebih tepatnya lebih dari satu (interpretasi).Hal inilah yang menyebabkan tidak mudahnya kita untuk menentukan tema pokok cerita atau tema mayor, artinya makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu.Makna pokok cerita tersirat dalam sebagian besar untuk tidak dikatakan dalam keseluruhan cerita bukan makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu saja.Makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita dapat diidentifikasi sebagai makna bagian makna tambahan.
Makna-makna tambahan inilah yang dapat disebut sebagai tema-tema tambahan atau tema minor.Makna-makna tambahan bukan merupakan sesuatu yang berdiri sendiri, terpisah dari makna pokok cerita yang bersangkutan berhubung sebuah karya (fiksi) yang jadi merupakan satu kesatuan.Makna pokok cerita bersifat merangkum berbagai makna khusus, makna-makna tambahan yang terdapat pada karya itu.Atau sebaliknya makna-makna tambahan itu bersifat mendukung dan atau mencerminkan makna utama keseluruhan cerita.

D.                Penafsiran Tema
Kegiatan menafsirkan tema sebuah karya fiksi. Barangkali, merupakan tugas yang paling banyak dibebankan kepada siswa. Semua orang yang pernah menjadi pelajar pasti mengalami mendapat pertanyaan itu namun belum tentu terhadap aspek fiksi yang lain. Walau demikian, tak jarang penugasan itu sendiri bersifat semu. Hal itu disebabkan jangankan menafsirkan tema sebuah novel, membacanyapun belum tentu mereka telah melakukannya. Dalam kegiatan pengajaran, jalan pintas yang sering ditempuh guru adalah memberitahukan, bahkan mungkin sekali: mendiktekan, tema novel-novel itu kepada siswa, suatu hal yang sebenarnya bersifat membiasakan sisiwa untuk begitu saja mau menerima pendapat orang lain tanpa berusaha sendiri. Hal itu akan semakin parah lagi jika tema yang didiktekan guru itu pun hanya diperolehnya dari buku teks tanpa dikonfirmasikan ke novel aslinya. Misalnya, banyak guru mengajarkan tema (utama) Sitti Nurbaya, sesuai dengan buku teks pegangannya? Adalah kawin paksa. Padahal, jika kit abaca secara teliti novel itu. Mungkin kita kurang menyetujui bahwa ia bertemakan kawin paksa, sebagai gambaran, cobalah dipertanyakan: siapakah sebenarnya yang memaksa Siti Nurbaya agar mau kawin dengan Datuk Maringgih itu? Selain itu, biasanya dalam satu novel hanya ditunjukan satu tema, tanpa memberikan dalam satu novel hanya ditunjukan satu tema, tanpa memberikan kemungkinan adanya tema-tema yang lain, atau kurang member kesempatan sisiwa untuk menafsirkan sendiri tema sebuah karya.
            Tema hadir bersama dan terpadu dengan unsur-unsur struktural yang lain sehingga yang kita jumpai dalam sebuah novel adalah cerita. Tema tersembunyi dibalik cerita itu. Jika pekerjaan menafsirkan itu sudah ditemukan, artinya kita sudah menentukan tema karya novel yang bersangkutan, hasil penafsiran itu pun belum tentu diterima orang lain. Kita pun tidak perlu memaksakan pendapat kita sebab adanya perbedaan penafsiran yang demikian amat wajar. Namun, hasil penafsiran yang diberikan hendaknya disertai alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
            Penafsiran terhadap haruslah dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang ada secara keseluruhan membangun cerita itu. Kita haruslah mulai dengan cara memahami cerita itu, mencari kejelasan ide-ide perwatakan, peristiwa-peristiwa, dan latar. Selain dengan cara-cara tersebut, sebaiknya juga disertai dengan usaha menemukan konflik sentral yang ada dalam cerita itu.
            Unsur tokoh, plot, dan latar yang oleh Stanton dikategorikan ke dalam fakta cerita berjalinan secara erat untuk mendukung tema. Jika bagi pengarang ketiga unsur tersebut merupakan sarana utama untuk mendukung tema. Jika bagi pengarang ketiga unsur tersebut merupakan sarana utama untuk menawarkan karyanya, bagi pembaca hal itu merupakan sarana utama untuk memahami makna tersebut.
            Dalam usaha menemukan dan menafsirkan tema sebuah novel, secara lebih khusus dan rinci, Stanton (1965: 22-3) mengemukakan adanya sejumlah kriteria yang dapat diikuti seperti ditunjukan berikut.
1.                  Penafsiran tema sebuah novel hendaknya mempertimbangkan tiap detail cerita yang menonjol. Kriteria ini merupakan hal yang paling penting. Hal itu disebabkan pada detil-detil yang menonjol (atau: ditonjolkan) itulah yang dapat diidentifikasi sebagai tokoh, masalah, konflik utama. Pada umumnya sesuatu yang ingin disampaikan ditempatkan. Kesulitan yang mungkin dihadapi adalah dalam hal menemukan dan atau menentukan detil-detil yang menonjol tersebut, apalagi jika novel yang bersangkutan relative panjang dan sarat dengan berbagai konflik. Detail cerita yang demikian diperkirakan berada di sekitar persoalan utama yang menyebabkan terjadinya konflik yang dihadapi tokoh utama. Dengan kata lain, seperti telah dikemukakan. Tokoh, masalah, konflik utama merupakan tempat yang paling strategis untuk mengungkapkan tema utama sebuah novel.
2.                  Penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap detail cerita. Novel, sebagai salah satu genre sastra, merupakan suatu sarana pengungkapan keyakinan, kebenaran, ide, gagasan, sikap, dan pandangan hidup pengarang, dan lain-lain yang tergolong unsur isi dan sebagai sesuatu yang ingin disampaikan. Oleh kerena itu, tentunya pengarang tak akan menjatuhkan sendiri sikap dan keyakinanya yang diungkapkan dalam detil-detil tertentu lewat detil tertentu cerita yang lainnya. Jika hal yang demikian terjadi. Cobalah diulangi sekali lagi hasil penafsiran itu barangkali terjadi kesalahpahaman.
3.                  Penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukit-bukit yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tak langsung dalam novel yang bersangkutan. Tema dibayangkan ada dalam cerita, atau informasi lain yang kurang dapat dipertanggungjawabkan karena kurangnya bukti empiris. Tak jarang sejumlah pembaca membayangkan tema sebagai sesuatu yang filosofis, muluk, dan jika dalam cerita ternyata tak ditemui harapannya itu, mereka seolah-olah tetap memaksakannya sebagai ada ditemui.
4.                  Penafsiran tema sebuah novel haruslah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang secara langsung ada atau yang disarankan dalam cerita. Kriteria ini mempertegas kriteria ketiga di atas. Penunjukkan tema sebuah cerita haruslah dapat dibuktikan dengan data-data atau detil-detil cerita yang terdapat dalam cerita itu. Baik yang berupa bukti-bukti langsung, artinya hanya berupa penafsiran terhadap kata-kata yang ada. Dalam sebuah novel, kadang-kadang, dapat ditemui adanya data-data tertentu, mungkin berupa kata-kata, kalimat, alinea, atau bentuk dialog, yang dapat dipandang sebagai bentuk yang berisi tema pokok cerita yang bersangkutan.







BAB III
PENUTUP

Simpulan
Tema dalam sebuah karya sastra, fiksi, hayalan salah satu dar isejumlah unsure pembangun cerita yang lain. Bahkan sebenarnya, eksistensi tema itu sendiri amat bergantung dari berbagai unsur yang lain. Hal itu disebabkan tema, yang notabene “hanya” berupa makna atau gagasan dasar umum suatu cerita, tak mungkin hadir tanpa unsure bentuk yang menampungnya. Dengan demikian, sebuah tema baru akan menjadi makna cerita jika ada dalam keterkaitannya dengan unsur-unsur ceritalainnya. Tema dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori diantaranya tema tradisional dan nontradisional, tingkatan tema menurut Shipley, tema utama dan tema tambahan.
Untuk menentuakan tema sebuah karya fiksi, ia haruslah disimpulakan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Pengarang memilih dan mengagkat berbagai masalah hidup dan kehidupan itu menjadi tema dan atau sub-sub tema ke dalam karya fiksi sesuai dengan pengalaman, pengamatan, dan aksi-interaksinya dengan lingkungan.

 Saran
Setelah memahami dan menguasai seluk beluk tentang tema, diharapkan pembaca dapat membuat tema yang baik dan benar agar tidak terjadi  kekeliruan dalam pembahasan atau penganalisisan suatu karya sastra.



Daftar Pustaka

Nurgiyantoro, Burhan. (2002). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
                        University Press.