Sunday 2 October 2016

Analisis Cerpen "Mbah Danu" Karya Nugroho Noto Susanto

Analisis
Cerpen “Mbah Danu”
Karya Nugroho Noto Susanto

A.  Satuan Peristiwa Cerpen Mbah Danu
1. Wajahnya kasar-kasar seperti tengkorak, kulitnya liat seperti belulalang, pipinya selalu menonjol oleh susur tembakau  yang ada dlalam mulutnya, jalannya tegak seperti seorang maharani yang angkuh. Di Rembang di sekitar tahun tigah puluhan ia lebih terkenal daripada pendeta Osborn pada pertengahan tahun 1954 di Jakarta karena prestasinya menyembuhkan orang-orang sakit secara ghaib. Ditinjau dari sudut tertentu cara pengobatan Mbah Danu adalah rasional. Titik pangkalnya adalah suatu anggapan yang logis. Mbah Danu menegaskan, bahwa orang sakit itu “didiami” oleh roh-roh jahat; karena itu cara satu-satunya untuk menyembuhkan adalah dengan menghalaukan makhluk yang merugikan kesehatan itu.
2. Si Nah, pelayan pada keluarga Pak Jaksa (pension) telah sebulan sakit demam.
3. Keadaannya makin lama makin payah. Matanya kelihatan putihnya saja, mulutnya berbuih dan ia mengeluarkan bunyi-bunyi binatang, kadang-kadang meringik seperti kuda, kadang-kadang menyalak, mengeong, berkaok-kaok, dan kalau sudah mengaum, anak-anak dan perempuan percaya, bahwa satu saat kemudian Nah akan menjelma menjadi macan gadungan.
4. Menurut kabar-kabar yang cepatnya tersiar hampir seperti bertita radio, Mbah Danu sedang turne. Routenya adalah Lasem, Pamotan, Jatirogo, Bojonegoro, Tuban, Padangan, Cepu, Blora, dan kembali ke Rembang. Kini ia disinyalir  sudah ada di Blora, jadi sudah hampir pulang.
5. Dan benar, ketika Nah tengah mengeong-ngeong seperti kucing kasmaran, Mbah Danu datang membawa koper besi yang sama antiknya dengan yang punya.
6. Dia tembusi badan Nah, dengan pandang membara sambil mengelilingkan susur besar di dalam mulutnya. Nah, mengigau dengan mata tertutup, buih di mulutnya meleleh ke bawah membasahi bantalnya yang kumal seperti tempat duduk jeep militer yang sudah tua. Wajahnya pucat seperti kain mori.
7. “ambilkan sapu lidi!” perintah Mbah Danu dengan sikap Srikandi wayang orang. Kemudian ia mencengkeram lengan Nah dan menyeretnya dari tikar ke lantai. Sapu lidi  datang. Ukurannya istimewa besar, karena Pak Jaksa mempunyai 60 pohon kelapa di pekarangannya. Mbah Danu memegang sapu lidi itu pada ujungnya yang lunak, kemudian bongkoknya yang garis tengahnya kira-kira 10 cm itu dia ayunkan ke atas dan di pukulkan sekuat tenagaa ke pantat Nah yang terbaring miring. Segenap hadirin melotot matanya  dan megar kupingnya melihat dan mendengar pukulan dahsyat itu.
8. “Ngeoooong! Keluar dari mulut Nah mendirikan bulu-bulu di kulit penonton.
“Mampus engkau sekarang! Seru Mbah Danu bengis dan spu lidi terus-menerus menghantam pantat Nah dengan irama rhumba. Nah tidak mengeong lagi sekarang, melainkan mengaum seperti singa sirkus yang marah. Sebagian hadirin mau lari.
9. “Minggat ayo minggat! Teriak Mbah Danu dengan amat murka dan dengan tendangan jitu Nah ditengkurapkannya. Kemudian deraannya menghujam pula pada pantat Nah yang kini sadar, bahwa ia manusia Nah, bukan kucing, anjing, kuda atau singa.
10. “Aduh biyuuuuuung! Aduh biyuuuuuuuung!!”tangisnya menggaung.
11.“Minggat! Minggat! Minggat!!” suara Mbah Danu menggelora sampai tetangga-tetangga dan pelintas-pelintas mengalir masuk ke rumah itu menyelidiki sebab-sebab suara ngeri yang mereka dengar.
     “Aduuuuuh! Aduh, aduh, aduuuuh!” pekik Nah seperti manusia biasa.
12.“Minggat! Minggat! Ayo minggat!!” jerit Mbah Danu senyaring-nyaringnya sambil memukul dengan tangan kanan dan menggemgam susur di tangan kiri. Air ludahnya memercik merah ke lantai dan badan Nah dalam setengah lingkaran yang radiusnya ½ meter.
“Salah hamba apa kok disuruh minggat dan dihajar?” tanya Nah sambil menangis dan ia mencoba merangkak.
13. Sikap Mbah Danu sekaligus berubah.
14.“Aku bukannya berbicara kepadamu, Nah,” katanya dengan suara mineur yang lembut.  “Aku mengusir setan-setan di dalam badanmu.”
15. Sebagai pengeras perkataan yang terakhir, ia tegak sekali lagi serta memukulkan sapu lidi itu sedemikian kerasnya ke badan Nah, sehingga si sakit rebah ke lantai dan mengerang. Peluhnya bercucuran dan menguyupkan pakaiannya.
16.“Ha! Hampir  modar engkau sekarang!” seru Mbah Danu dengan ganas sambil melangkah maju dan menginjak tubuh Nah dengan kedua kakinya. Selama lima menit ia mondar-mandir di atas badan Nah sampai napas si sakit seperti ububan pandai besi bunyinya. Kedua lengannya diacung-acungkan untuk mempertahankan keseimbangan. Gerak-geriknya persis seperti Batari Durga yang menari di atas mayat manusia.
17. Setelah sudah, ia melentangkan badan Nah yang keringatnya membuat lantai mengkilat basah dan mukanya kini merah padam.
18. Mbah Danu berdiri dan memberi isyarat supaya para penonton yang tak berkepentingan mengundurkan diri. Pintu ditutup dan ia kembali kepada pasiennya. Dengan gerakan-gerakan tangkas pakaian si sakit dibukanya dan kemudian seperti orang kegila-gilaan ia meremas-remas seluruh badan Nah, sambil menggelitik si sakit pada tempat-tempat yang penuh rasa geli. Dan mula-mula Nah menggelepar-gelepar, akhirnya kegelian seperti perawan yang sehat. Seperempat jam Mbah danu meraba-raba tubuh pasiennya, kemudian ia melepaskan dan tegak pada lututnya.
19.“Setan-setan sudah lari dari badanmu, Nah”katanya tenang. “Engkau telah sembuh.” Dan di hadapan mata hadirin, Nah yang tadi sudah seperti setengah mati duduk bersandar pada dinding dan tersenyum seperti orang bangun tidur.
20.“Tidurlah saja dulu sampai besok,” kata Mbah Danu lebih jauh sambil membaringkan dan menyelimuti Nah dengan penuh kasih sayang. Sebentar ia memijit-mijit kepala Nah kemudian memercikan ludah sedikit dari mulutnya pada dahi si sakit. Setelah itu ia berdiri dan keluar untuk meminumi kopinya.
21. Prabawa Mbah Danu di rumah Pak Jaksa yang jadi sebagian prabawannya di daerah yang terentang dari Kudus sampai Tuban, dari Bonang sampai ke Randublatung, mengalami tantangan, ketika Mr.Salyo Kunto, salah seorang menantu Pak Jaksa, bersama istrinya mengunjungi mertuanya.
22. Beberapa hari sesudah kedatangannya, Nyonya Salyo sakit kepala dan pegal-pegal tubuhnya.
23. Bu Jaksa, sesuai dengan tradisi, segera menyuruh panggil Mbah Danu.
24. “O, ada sedikit angin jahat bersarang di dalam, Raden Ayu,” kata Mbah Danu setelah mendengarkan gejala-gejala penyakit dari mulut Nyonya Salyo sendiri. “Coba buka baju saja akan saya usir.” Dan Mbah Danu mulai berpraktek. Pertama kali ibu jarinya kedua-duanya ditekankan ke dalam daging perut Nyonya Salyo, sehingga terbenam nama sekali dan si pasien mencetuskan bunyi yang sukar dilukiskan. Kemudian perut Nyonya Salyo ditekannya dengan kedua telapak tangannya sehingga angin keluar dari bawah dengan bunyi meletup. Setelah itu, punggung dan tengkuk mendapat giliran, dan dengan lega Nyonya Salyo bersendawa. Kemudian Mbah Danu melakukan kombinasi kedua pijetan itu, sehingga angin-angin berlomba-lomba keluar dari atas dan dari bawah dengan berletusan.
25. Justru ketika itu Mr.Salyo masuk ke kamar dari jalan-jalan ke tepi pantai. Dengan keras Mbah Danu diperintahkannya keluar dari kamar seperti Mbah Danu mengusir setan-setan dari tubuh-tubuh orang sakit.
26. Kemudian istrinya dimarahinya.
“Engkau tahu bukan, bahwa pijetan itu bisa merusakan rahimmu?!”
Sebagai akibat insiden itu, Mbah Danu tak diizinkan menginjak lantai rumah itu kalau menantu akademikus Pak Jaksa itu datang. Suatu kekalahan bagi Mbah Danu. Untung hal itu terjadi paling kerap hanya dua kali dalam setahun. Pada waktu-waktu lainnya kedaulatan Mbah Danu tetap utuh.
27. Clash ke-2 antara Mbah Danu dan Mr. Salyo, meskipun tak langsung berhadap-hadapan, terjadi ketika Mbok Rah, pelayan Pak Jaksa yang setengah umur, sakit keras, justru ketika menantu Pak Jaksa yang berpendidikan tinggi itu berkunjung ke Rembang, Pak Jaksa dan Bu Jaksa tanpa pikir panjang segera menyuruh Mbah Danu ketika Mbok Rah sudah mulai mengigau sedangkan Mr. Salyo dengan penuh pertimbangan meminta datang Dokter Umar Chattab. Sangat kebetulan Dokter Umar Chattab lebih awal datangnya daripada Mbah Danu yang tidak punya mobil. Sehingga yang beraksi tangan di stetoskop. Dokter Umar, bukan tangan dan air ludah Mbah Danu.
    “Malaria,” diagnose Dokter Umar Chattab di kamar Mbok Rah yang gelap. Ia memberi resep kinine, yang pada masa itu satu-satunya obat yang mujarab untuk malaria. Setelah memberi petunjuk-petunjuk lain tentang makan dan rawatan si sakit, Pak Dokter pulang.
28. Penyakit Mbok Rah semakin lama makin keras. Pak Jaksa dan Bu Jaksa dan tetangga-tetangga yang dekat, tahu benar apa sebabnya. Kualat Mbah Danu! Dan mereka mendesak, agar supaya Mbah Danu dipanggil. Tetapi sebagai jawaban, Mr. Salyo memanggil Dokter Umar Chattab. Soal ini jadi perkara kehormatan baginya, dan perhubungan antara mertua dengan menantu jadi tegang. Nyonya Salyo dengan susah payah bisa tetap tinggal netral, tetapi, sebagaimana juga di dalam politik ia dipandang dengan marah oleh kedua pihak yang bertentangan. Namun ia tetap mempertahankan politik bebas yang pasif itu.
30. Dokter Umar Chattab heran.
“Kininenya sudah Tuan berikan sebagai yang saya tetapkan?” tanyanya.
“Ya,” jawab Nyonya Salyo mendahului suaminya. “Saya sendiri yang memberikan pil-pil itu kepada Mbok Rah.”
31. Dokter Umar Chattab pulang dengan tidak mengubah ketetapannya. Hanya saja ia berpesan, agar supaya waktu menelan pil si sakit diawasi sungguh-sungguh.
33. Keadaan Mbok Rah makin lama makin buruk dan malamnya lagi ia mati.
34. Perang dingin kini mencair jadi gugatan-gugatan lisan yang pedas meskipun tak ditujukan secara langsung. Dengan tak dipanggil, Mbah Danu datang sendiri. Mr. Salyo mengundurkan diri ke dalam kamar tamu. Asbaknya penuh dengan punting si garet.
“Kita telah berbuat sebaik mungkin,” kata Nyonya Salyo menghibur suaminya.
“Mengapa Jeng, mengapa ia meninggal?!” seru Mr. Salyo dengan gairah sambil memeluk bahu istrinya yang tidak menjawab.
“Kita tak bisa percaya kepada nonsense itu bukan!” katanya lagi.
“Inna li’llahi wa inna illahi raji’un,” kata Nyonya Salyo.
35. Ketika fajar menyingsing, persiapan-persiapan untuk penguburan dimulai. Pada jam 7 orang-orang masuk ke kamar jenazah dan mengangkatnya ke luar. Mr. Salyo dan Ny. Salyo ikut menyaksikan pengambilan jenazah dari dalam kamar tempat ia dan Dokter Umar Chattab menderita kekalahan terhadap mertuanya dan Mbah Danu. Nyonya Salyo yang mendampingi suami di kamar itu di dalam hati kecilnya cenderung kepada ayah-bundanya, tetapi merasa harus solider dengan kekecewaan suaminya.
36. Hawa di dalam kamar itu pengap, tambah menyesak dada oleh asap kemenyan. Mr. Salyo membuka jendela lebar-lebar, sehingga sinar matahari pagi masuk dengan gelombang besar. Suatu sosok tubuh muncul di ambang pintu, Mbah Danu. Matanya membara. Mr. Salyo merasa tengkuknya dingin. Ia menghela napas panjang dan melemparkan pandang terakhir kepada bale-bale tempat semalam jenazah terbaring. Dengan sangat tiba-tiba ia terpekik dan telunjuknya diacungkan ke sudut kamar. Matanya terbelalak lebar-lebar. Nyonya Salyo dan Mbah Danu menengok. Dan juga mereka melihat pil kinine membungkit di lantai di bawah bale-bale Mbok Rah.
B. Tahapan Alur
1.    Tahap Permulaan (Exposition)
Mbah Danu terkenal sebagai orang yang suka mengobati orang lain secara ghaib.
Terdapat pada satuan peristiwa nomor 1
“Wajahnya kasar-kasar seperti tengkorak, kulitnya liat seperti belulang, pipinya selalu menonjol oleh susur tembakau  yang ada dalam mulutnya, jalannya tegak seperti seorang maharani yang angkuh. Di Rembang di sekitar tahun tiga puluhan ia lebih terkenal daripada pendeta Osborn pada pertengahan tahun 1954 di Jakarta karena prestasinya menyembuhkan orang-orang sakit secara ghaib. Ditinjau dari sudut tertentu cara pengobatan Mbah Danu adalah rasional. Titik pangkalnya adalah suatu anggapan yang logis. Mbah Danu menegaskan, bahwa orang sakit itu “didiami” oleh roh-roh jahat; karena itu cara satu-satunya untuk menyembuhkan adalah dengan menghalaukan makhluk yang merugikan kesehatan itu.”

Dari kutipan tersebut pengarang mencoba memperkenalkan tokoh Mbah Danu beserta karakternya yang bisa menyembuhkan orang sakit secara ghaib yang berwatak angkuh.

2.    Tahap Pertikaian (Inciting Force dan Ricing Action)
Mr. Salyo tidak percaya terhadap cara pengobatan yang dilakukan Mbah Danu, Terdapat pada satuan peristiwa nomor 21-25
“Prabawa Mbah Danu di rumah Pak Jaksa yang jadi sebagian prabawannya di daerah yang terentang dari Kudus sampai Tuban, dari Bonang sampai ke Randublatung, mengalami tantangan, ketika Mr.Salyo Kunto, salah seorang menantu Pak Jaksa, bersama istrinya mengunjungi mertuanya.”

“Beberapa hari sesudah kedatangannya, Nyonya Salyo sakit kepala dan pegal-pegal tubuhnya”

“Bu Jaksa, sesuai dengan tradisi, segera menyuruh panggil Mbah Danu.”

“O, ada sedikit angin jahat bersarang di dalam, Raden Ayu,” kata Mbah Danu setelah mendengarkan gejala-gejala penyakit dari mulut Nyonya Salyo sendiri. “Coba buka baju saja akan saya usir.” Dan Mbah Danu mulai berpraktek. Pertama kali ibu jarinya kedua-duanya ditekankan ke dalam daging perut Nyonya Salyo, sehingga terbenam nama sekali dan si pasien mencetuskan bunyi yang sukar dilukiskan. Kemudian perut Nyonya Salyo ditekannya dengan kedua telapak tangannya sehingga angin keluar dari bawah dengan bunyi meletup. Setelah itu, punggung dan tengkuk mendapat giliran, dan dengan lega Nyonya Salyo bersendawa. Kemudian Mbah Danu melakukan kombinasi kedua pijetan itu, sehingga angin-angin berlomba-lomba keluar dari atas dan dari bawah dengan berletusan.”

“ Justru ketika itu Mr.Salyo masuk ke kamar dari jalan-jalan ke tepi pantai. Dengan keras Mbah Danu diperintahkannya keluar dari kamar seperti Mbah Danu mengusir setan-setan dari tubuh-tubuh orang sakit.”

Dalam kutipan di atas membuktikan bahwa Mr.Salyo tida percaya terhadap cara pengobatan ghaib yang dilakukan Mbah Danu. Ketika Ny. Salyo sakit kemudian diobati oleh Mbah Danu dengan pijatan-pijatan seketika Mr.Salyo datang dan langsung mengusir Mbah Danu. Dari perilaku tokoh nya pun tergambar jelas bahwa sama sekali tidak percaya akan pengobatan ghaib, terutama yang dilakukan Mbah Danu terhadap Ny.salyo yang dianggap dapat merusak rahimnya.
3.    Konflik (Tahap Perumitan)
Pertikaian terjadi ketika Mbah Danu mengobati istri Mr. Salyo dengan cara memijit-mijit perutnya. Terdapat pada satuan peristiwa yang dimuklai dari nomor 25-26
“Justru ketika itu Mr.Salyo masuk ke kamar dari jalan-jalan ke tepi pantai. Dengan keras Mbah Danu diperintahkannya keluar dari kamar seperti Mbah Danu mengusir setan-setan dari tubuh-tubuh orang sakit.”

“Kemudian istrinya dimarahinya.
   “Engkau tahu bukan, bahwa pijetan itu bisa merusakan rahimmu?!”
Sebagai akibat insiden itu, Mbah Danu tak diizinkan menginjak lantai rumah itu kalau menantu akademikus Pak Jaksa itu datang. Suatu kekalahan bagi Mbah Danu. Untung hal itu terjadi paling kerap hanya dua kali dalam setahun. Pada waktu-waktu lainnya kedaulatan Mbah Danu tetap utuh.”

Dalam kutipan diatas jelas sekali tergambar ketidaksukaan Mr.Salyo terhadap cara pengobatan Mbah Danu yang dianggap kuno dan membahayakan. Tokoh Mbah Danu di usir ketika tengah mengobati Ny.Salyo, dan Ny.Salyo langsung dimarahi oleh Mr.Salyo. akibatnya, Mbah Danu dilarang menginjak lagi rumah itu oleh Mr.Salyo.

4.    Bagian Puncak (Klimaks)
Ketika Mbok Rah sakit, Pak Jaksa dan bu Jaksa akan memanggil Mbah Danu, tetapi Mr.Salyo mengusulkan supaya Mbok Rah ditangani oleh dokter Umar Chattab. Tetapi setelah ditangani oleh dokter Umar Chattab penyakit Mbok Rah semakin parah dan akhirnya meninggal, meninggalnya Mbok Rah dianggap kualat dari Mbah Danu. Terdapat pada satuan peristiwa yang dimulai dari nomor 27-31
“Clash ke-2 antara Mbah Danu dan Mr. Salyo, meskipun tak langsung berhadap-hadapan, terjadi ketika Mbok Rah, pelayan Pak Jaksa yang setengah umur, sakit keras, justru ketika menantu Pak Jaksa yang berpendidikan tinggi itu berkunjung ke Rembang, Pak Jaksa dan Bu Jaksa tanpa pikir panjang segera menyuruh Mbah Danu ketika Mbok Rah sudah mulai mengigau sedangkan Mr. Salyo dengan penuh pertimbangan meminta datang Dokter Umar Chattab. Sangat kebetulan Dokter Umar Chattab lebih awal datangnya daripada Mbah Danu yang tidak punya mobil. Sehingga yang beraksi tangan di stetoskop. Dokter Umar, bukan tangan dan air ludah Mbah Danu.”

“Penyakit Mbok Rah semakin lama makin keras. Pak Jaksa dan Bu Jaksa dan tetangga-tetangga yang dekat, tahu benar apa sebabnya. Kualat Mbah Danu! Dan mereka mendesak, agar supaya Mbah Danu dipanggil. Tetapi sebagai jawaban, Mr. Salyo memanggil Dokter Umar Chattab. Soal ini jadi perkara kehormatan baginya, dan perhubungan antara mertua dengan menantu jadi tegang. Nyonya Salyo dengan susah payah bisa tetap tinggal netral, tetapi, sebagaimana juga di dalam politik ia dipandang dengan marah oleh kedua pihak yang bertentangan. Namun ia tetap mempertahankan politik bebas yang pasif itu.”

     “Dokter Umar Chattab heran.
     “Kininenya sudah Tuan berikan sebagai yang saya tetapkan?” tanyanya.
     “Ya,” jawab Nyonya Salyo mendahului suaminya. “Saya sendiri yang memberikan pil-pil itu kepada Mbok Rah.”

“Dokter Umar Chattab pulang dengan tidak mengubah ketetapannya. Hanya saja ia berpesan, agar supaya waktu menelan pil si sakit diawasi sungguh-sungguh.”

“Keadaan Mbok Rah makin lama makin buruk dan malamnya lagi ia mati.”

Dalam kutipan diatas merupakan bagian puncak dari cerpen Mbah Danu karena Mbok Rah sakitnya semakin parah dan orang-orang mengganggap kualat dari Mbah Danu. Keluarga pak Jaksa meminta agar Mbah Danu dipanggil tetapi Mr. Salyo ingin Dokter Umar Chattab yang dipanggil untuk mengobati Mbok Rah sehingga pada saat itu terjadi perdebatan antara Mr. Salyo dan keluarga Pak Jaksa.
5.    Tahap Peleraian (Falling Actiont)
Mr. Salyo mengetahui kematian Mbok Rah. Mbok Rah meninggal bukan kualat dari Mbah Danu tetapi karena Mbok Rah tidak meminum obat pil kinine yang diberikan dokter Umar Chattab, tetapi malah menyimpannya dibale-bale tempat tidur Mbok Rah. Terdapat pada satuan peristiwa nomor 34-35
“Perang dingin kini mencair jadi gugatan-gugatan lisan yang pedas meskipun tak ditujukan sacara langsung. Dengan tak dipanggil, Mbah Danu datang sendiri. Mr. Salyo mengundurkan diri ke dalam kamar tamu. Asbaknya penuh dengan punting si garet.
“Kita telah berbuat sebaik mungkin,” kata Nyonya Salyo menghibur suaminya.
“Mengapa Jeng, mengapa ia meninggal?!” seru Mr. Salyo dengan gairah sambil memeluk bahu istrinya yang tidak menjawab.
“Kita tak bisa percaya kepada nonsense itu bukan!” katanya lagi.
“Inna li’llahi wa inna illahi raji’un,” kata Nyonya Salyo.”

“Ketika fajar menyingsing, persiapan-persiapan untuk penguburan dimulai. Pada jam 7 orang-orang masuk ke kamar jenazah dan mengangkatnya ke luar. Mr. Salyo dan Ny. Salyo ikut menyaksikan pengambilan jenazah dari dalam kamar tempat ia dan Dokter Umar Chattab menderita kekalahan terhadap mertuanya dan Mbah Danu. Nyonya Salyo yang mendampingi suami di kamar itu di dalam hati kecilnya cenderung kepada ayah-bundanya, tetapi merasa harus solider dengan kekecewaan suaminya.”

6.    Tahap Akhir  (Conclusion)
Terungkaplah penyebab Mbok Rah meninggal akibat tidak meminum obat yang diberikan dokter Umar Chattab. Terdapat pada satuan peristiwa nomor 36
“Hawa di dalam kamar itu pengap, tambah menyesak dada oleh asap kemenyan. Mr. Salyo membuka jendela lebar-lebar, sehingga sinar matahari pagi masuk dengan gelombang besar. Suatu sosok tubuh muncul di ambang pintu, Mbah Danu. Matanya membara. Mr. Salyo merasa tengkuknya dingin. Ia menghela napas panjang dan melemparkan pandang terakhir kepada bale-bale tempat semalam jenazah terbaring. Dengan sangat tiba-tiba ia terpekik dan telunjuknya diacungkan ke sudut kamar. Matanya terbelalak lebar-lebar. Nyonya Salyo dan Mbah Danu menengok. Dan juga mereka melihat pil kinine membungkit di lantai di bawah bale-bale Mbok Rah.”

C.  Konflik Cerpen Mbah Danu
Cerpen Mbah Danu termasuk jenis konflik manusia dengan manusia. Terdapat pada satuan peristiwa nomor 21-31
“Prabawa Mbah Danu di rumah Pak Jaksa yang jadi sebagian prabawannya di daerah yang terentang dari Kudus sampai Tuban, dari Bonang sampai ke Randublatung, mengalami tantangan, ketika Mr.Salyo Kunto, salah seorang menantu Pak Jaksa, bersama istrinya mengunjungi mertuanya”.
“Beberapa hari sesudah kedatangannya, Nyonya Salyo sakit kepala dan pegal-pegal tubuhnya”.
“Bu Jaksa, sesuai dengan tradisi, segera menyuruh panggil Mbah Danu”.
“O, ada sedikit angin jahat bersarang di dalam, Raden Ayu,” kata Mbah Danu setelah mendengarkan gejala-gejala penyakit dari mulut Nyonya Salyo sendiri. “Coba buka baju saja akan saya usir.” Dan Mbah Danu mulai berpraktek. Pertama kali ibu jarinya kedua-duanya ditekankan ke dalam daging perut Nyonya Salyo, sehingga terbenam nama sekali dan si pasien mencetuskan bunyi yang sukar dilukiskan. Kemudian perut Nyonya Salyo ditekannya dengan kedua telapak tangannya sehingga angin keluar dari bawah dengan bunyi meletup. Setelah itu, punggung dan tengkuk mendapat giliran, dan dengan lega Nyonya Salyo bersendawa. Kemudian Mbah Danu melakukan kombinasi kedua pijetan itu, sehingga angin-angin berlomba-lomba keluar dari atas dan dari bawah dengan berletusan.
“Justru ketika itu Mr.Salyo masuk ke kamar dari jalan-jalan ke tepi pantai. Dengan keras Mbah Danu diperintahkannya keluar dari kamar seperti Mbah Danu mengusir setan-setan dari tubuh-tubuh orang sakit”.
“Kemudian istrinya dimarahinya”.
“Engkau tahu bukan, bahwa pijetan itu bisa merusakan rahimmu?!”
Sebagai akibat insiden itu, Mbah Danu tak diizinkan menginjak lantai rumah itu kalau menantu akademikus Pak Jaksa itu datang. Suatu kekalahan bagi Mbah Danu. Untung hal itu terjadi paling kerap hanya dua kali dalam setahun. Pada waktu-waktu lainnya kedaulatan Mbah Danu tetap utuh.
“Clash ke-2 antara Mbah Danu dan Mr. Salyo, meskipun tak langsung berhadap-hadapan, terjadi ketika Mbok Rah, pelayan Pak Jaksa yang setengah umur, sakit keras, justru ketika menantu Pak Jaksa yang berpendidikan tinggi itu berkunjung ke Rembang, Pak Jaksa dan Bu Jaksa tanpa pikir panjang segera menyuruh Mbah Danu ketika Mbok Rah sudah mulai mengigau sedangkan Mr. Salyo dengan penuh pertimbangan meminta datang Dokter Umar Chattab. Sangat kebetulan Dokter Umar Chattab lebih awal datangnya daripada Mbah Danu yang tidak punya mobil. Sehingga yang beraksi tangan di stetoskop. Dokter Umar, bukan tangan dan air ludah Mbah Danu”.
“Malaria,” diagnose Dokter Umar Chattab di kamar Mbok Rah yang gelap. Ia memberi resep kinine, yang pada masa itu satu-satunya obat yang mujarab untuk malaria. Setelah memberi petunjuk-petunjuk lain tentang makan dan rawatan si sakit, Pak Dokter pulang”.
“Penyakit Mbok Rah semakin lama makin keras. Pak Jaksa dan Bu Jaksa dan tetangga-tetangga yang dekat, tahu benar apa sebabnya. Kualat Mbah Danu! Dan mereka mendesak, agar supaya Mbah Danu dipanggil. Tetapi sebagai jawaban, Mr. Salyo memanggil Dokter Umar Chattab. Soal ini jadi perkara kehormatan baginya, dan perhubungan antara mertua dengan menantu jadi tegang. Nyonya Salyo dengan susah payah bisa tetap tinggal netral, tetapi, sebagaimana juga di dalam politik ia dipandang dengan marah oleh kedua pihak yang bertentangan. Namun ia tetap mempertahankan politik bebas yang pasif itu”.
“Dokter Umar Chattab heran”.
“Kininenya sudah Tuan berikan sebagai yang saya tetapkan?” tanyanya.
“Ya,” jawab Nyonya Salyo mendahului suaminya. “Saya sendiri yang memberikan pil-pil itu kepada Mbok Rah.”
“Dokter Umar Chattab pulang dengan tidak mengubah ketetapannya. Hanya saja ia berpesan, agar supaya waktu menelan pil si sakit diawasi sungguh-sungguh”.
D. Berdasarkan urutan waktu cerpen Mbah Danu
menggunakan alur maju karena ceritanya disampaikan secara runtut dari awal hingga akhir cerita (Terdapat tahapan-tahapan alurnya) terdapat pada satuan peristiwa nomor 1,2,3,4,5………36.
E.  Berdasarkan cara pengarang mengakhiri cerpen Mbah Danu
Menggunakan plot tertutup, karena pembaca tidak bisa mengembangkan jalan cerita dari cerpen Mbah Danu.
Terdapat pada satuan peristiwa nomor 36
“Hawa di dalam kamar itu pengap, tambah menyesak dada oleh asap kemenyan. Mr. Salyo membuka jendela lebar-lebar, sehingga sinar matahari pagi masuk dengan gelombang besar. Suatu sosok tubuh muncul di ambang pintu, Mbah Danu. Matanya membara. Mr. Salyo merasa tengkuknya dingin. Ia menghela napas panjang dan melemparkan pandang terakhir kepada bale-bale tempat semalam jenazah terbaring. Dengan sangat tiba-tiba ia terpekik dan telunjuknya diacungkan ke sudut kamar. Matanya terbelalak lebar-lebar. Nyonya Salyo dan Mbah Danu menengok. Dan juga mereka melihat pil kinine membungkit di lantai di bawah bale-bale Mbok Rah.”

Dalam kutipan diatas jelas sekali jalan cerita yang dibuat oleh pengarang sudah terga,bar secara jelas yaitu Mbok Rah meninggal dunia dan disebabkan karena tidak meminum obat yang diberikan Dokter Umar Chattab tetapi malah disimpan di bale-bale tempat tidur Mbok Rah.

F.  Watak, Sikap dan Keadaan Para Tokoh
1.    Mbah Danu
Angkuh, keras, tetapi penuh kasih sayang. Watak Mbah Danu yang angkuh di paparkan langsung oleh pengarang sendiri, melalui kutipan berikut ini 
“…Jalannya tegak seperti seorang mahasani yang angkuh”.
 Namun di balik ke angkuhan nya, Mbah Danu mempunyai kasih sayang yang di buktikan oleh tingkah laku Mbah Danu kepada Nah, pada kalimat 
“... Mbah Danu lebih jauh sambil membaringkan dan menyelimuti Nah dengan penuh kasih sayang”.
2.    Mr  Salyo
Berpikiran maju, modern,dan pintar. Mr salyo tidak percaya pada pengobatan Mbah danu  yang penuh unsur mistis. Mr Salyo lebih percaya pada pengobatan dokter yang lebih modern, yang tidak membahayakan. Semua ini di buktikan melalui perkataan dan tingkah laku Mr salyo kepada Mbah Danu dan istrinya.
“…Mr Salyo masuk ke kamar dari jalan jalan ke tepi pantai, Dengan keras Mbah Danu di perintahkannya keluar dari kamar ...”.
Kemudian Mr salyo memarahi istrinya
“Engkau tahu bukan bahwa pijatan itu bisa merusak rahimmu?”.
3.    Nyonya Salyo
Baik, patuh, dan hormat kepada suami. Nyonya Salyo merawat Mbok Rah yang sedang sakit. Dibuktikan oleh pernyataannya sendiri
“…Saya sendiri yang memberikan pil-pil itu kepada Mbak Rah”.
4.    Pak Jaksa
Teguh pendirian, masih percaya tahayul. Dibuktikan pada kalimat
“…Tanpa pikir panjang segera menyuruh panggil Mbah Danu …”.
5.    Dokter Umar Chattab
Baik dan perhatian, dibuktikan pada kalimat
“ Kininenya sudah tuan berikan sebagai yang saya tetapka?”


6.    Mbok Rah
Egois, pemikirannya tidak maju. Mbok Rah lebih percaya pada dukun daripada seorang dokter, sebabnya Mbok Rah tidak meminum obat pil yang diberikan kepada Mbok Rah. Tetapi malah disimpan di bawah tempat tidur Mbok Rah.
7.    Si Nah
Pasrah, dibuktikan oleh perilaku Nah yang pasrah dihantam sapu lidi oleh Mbah Danu.
G. Cara yang dilakukan pengarang untuk melukiskan keadaan tokoh-tokoh dalam cerpen Mbah Danu
yaitu dengan cara analitik. Karena watak, sikap dan keadaan tokoh-tokohnya dijelaskan secara langsung oleh pengarang. Ditunjukan pada kalimat
“Wajahnya kasar-kasar  seperti tengkorak, kulitnya liat seperti belulang, pipinya selalu menonjol oleh susur tembakau yang ada dalam mulutnya, jalannya tegak seperti maharani yang angkuh …”.
Dalam kutipan tersebut jelas sekali bahwa pengarang dalam melukiskan tokoh Mbah Danu dilakukan secara langsung. Artinya langsung dilukiskan bagaimana keadaan fisik, sikap, atau watak dari tokoh  Mbah Danu.
Keadaan tokoh si Nah juga dilukiskan dengan cara analitik, yaitu pengarang menjelaskan secara langsung tokoh si Nah seperti pada kalimat
“Si Nah, gadis pelayan Pak Jaksa (pasien) telah sebulan sakit demam. Keadaanya makin parah. Matanya kelihatan putihnya saja, mulutnya berbuih  dan Ia mengeluarkan bunyi-bunyi binatang , kadang-kadang meringkik seperti kuda, kadang-kadang mengalak, mengeong…”

Keadaan tokoh Pak Jaksa dan Bu Jaksa dengan Mr Salyo dan Nyonya Salyo dilakukan dengan cara melukiskan pikiran dan perasaan tokoh. Seperti pada kalimat
“Penyankit Mbok Rah makin lama makin parah. Pak Jaksa Bu Jaksa dan tetangga-tetangga dekat, tahu benar apa sebabnya. Kualat Mbah Danu! Dan mereka mendesak, supaya Mbah Danu dipanggil. Tetapi sebagai jawaban, Mr Salyo memanggil dokter Umar Chattab. Soal ini menjadi perkara kehormatan baginya, dan hubungan mertua dengan menantu menjadi tegang. Nyonya salyo dengan susah payah bisa tetap tinggal netral, tetapi sebagaimana juga didalam politik Ia dipandang dengan marah oleh kedua pihak yang bertentangan. Namun ia tetap mempertahankan politik yang bebas pasif  itu”.
Dalam kutipan tersebut jelas sekali bahwa Pak Jaksa dan Bu Jaksa mengira bahwa Mbok Rah sakit akibat kualat dari Mbah Danu, sedangkan Mr Salyo bersikeras untuk memanggil dokter, dan Nyonya Salyo dihadapkan pada dua putusan orangtuanya atau suaminya, tapi Nyonya Salyo bersikap netral walau dalam hatinya cenderung mendukung orangtuanya.
H.  Titik Kisah
Pada orang ketiga, sudut pandang serba tahu. Karena pada cerpen Mbah Danu pengarang memakai kata ganti nama orang, dan pengarang juga tidak terlibat dalam peristiwa cerpen tersebut. Sudut pandang serba tahu, karena pengarang bertindak serba tahu mengenai watak,sikap, dan keadaan para tokohnya.
Ditunjukan pada kalimat “Wajahnya kasar-kasar seperti tengkorang, kulitnya liat seperti belulang, pipinya selalu menonjol oleh susr tembakau yang ada dalam mulutnya, jalannya tegak seperti orang maharani yang angkuh…”
Dalam kutipan tersebut jelas sekali pengarang bertindak sebagai seorang yang serba tahu akan watak, sikap, dan keadaan tokoh Mbah Danu yang mempunyai sikap yang angkuh . dan pada kutipan
“Si Nah, gadis pelayan pada keluarga Pak Jasksa (pensiun) telah sebulan sakit demam. Keadaannya makin lama makin parah. Matanya kelihatan putihnya saja, mulutnya berbuih…”.
Jelas sekali pada kutipan tersebut menggunakan orang ketiga, sudut pandang serba tahu karena pengarang memakai kata ganti nama orang seperti “Si Nah”, “Pak Jaksa”. Dan pengarang seakan-akan mengetahui pasti mengenai keadaan Si Nah.
I.     Gaya
Pengarang menggunakan gaya dengan cara mengungkapkan masalah yang ditampilkannya. Pada saat tahap klimaks pengarang mengungkapkan masalah pada saat Mbah Danu tidak diizinkan menginjak kakinya di rumah Pak Jaksa dan saat Mbok Rah mati, tetangga-tetanggantya mengira bahwa tulah atau kualat Mbah Danu yang mengakibatkan Mbok Rah mati.
Dan pilihan kata dari pengarang menggunakan beberapa gaya bahasa, yaitu:
1.      Wajahnya kasar-kasar seperti tengkorak, kata tersebut termasuk gaya bahasa metafora.
2.      Kulitnya liat seperti belulang, kata tersebut termasuk gaya bahasa metafora.
3.      Jalannya tegak seperti seorang maharani yang angkuh, kata tersebut termasuk gaya metafora.
4.      Kadang-kadang meringkik seperti kuda, kata tersebut termasuk gaya hiperbola.
5.      Nah akan menjelma seperti macan gadungan, kata tersebut termasuk gaya bahasa metafora.
6.      Nah tengah mengeong-ngeong seperti kucing kasmaran, kata tersebut termasuk gaya bahasa metafora.
7.      Nah mengigau dengan mata tertutup, buih di mulutnya meleleh ke bawah membasahi bantalnya yang kumal seperti tempat duduk Jeep Militer yang sudah tua, kata tersebut termasuk gaya bahasa metafora dan gaya bahasa metonimia.
8.      Wajahnya pucat seperti kain mori, kata tersebut termasuk gaya bahasa metafora.
9.      Napas si sakit seperti ububan pandai besi bunyinya, kata tersebut termasuk gaya bahasa metafora.
10.  Ia memeberi resep kinine, yang pada masa itu satu-satunya obat yang mujarab untuk malaria, termasuk gaya bahasa metonimia.
11.  Kita telah berbuat sebaik mungkin, termasuk gaya bahasa eufimisme.
J.    Abstrak
Terkenalah seorang dukun yang dapat menyembuhkan orang sakit dengan cara ghaib. Suatu hari Si Nah gadis pelayan Pak Jaksa jatuh sakit. Kemudian Pak Jaksa memanggil Mbah Danu, dan Mbah Danu pun datang sesuai panggilan Pak Jaksa dengan membawa koper antik. Ketika mengobati Nah, Mbah Danu memukulkan sapu lidi kepada Nah sebagai media pengobatannya. Mbah Danu menginjak-injak tubuh Nah dan membuka seluruh pakaian Nah, dan akhirnya Nah sembuh berkat Mbah Danu. Mr.Salyo dan Ny.Salyo datang mengunjungi keluarga Pak Jaksa. Tiba-tiba Ny.Salyo jatuh sakit, Mbah danu datang sesuai panggilan Bu Jaksa. Mbah Danu memijit-mijit perut Ny.Salyo, ketika Mr. Salyo datang segeralah Mbah Danu diusir karena tidak suka melihat perlakuannya kepada Ny.Salyo yang dianggap dapat merusak rahimnya, kemudian Mr. Salyo langsung memarahi Ny.Salyo. Pelayan Pak Jaksa Mbok Rah sakit keras kemudian Mr.Salyo memanggil Dokter Umar Chattab. Dokter Umar Chattab mendiagnosis bahwa Mbor Rah terkena penyakit malaria dan memberikan Mbok Rah obat pil kinine. Keadaan Mbok Rah memburuk dan akhirnya ia mati. Hawa di dalam kamar pengap dan penuh sesak asap kemenyan, Mr.Salyo masuk ke dalam kamar Mbok Rah dan kemudian melihat pil yang membukit dibawah bale-bale kamar Mbok Rah.
K. Orientasi
Wajahnya kasar-kasar seperti tengkorak, kulitnya liat seperti belulang, pipinya selalu menonjol oleh susur tembakau yang ada dalam mulutnya, jalannya tegak seperti seorang maharani yang angkuh. Di Rembang di sekitar tahun tiga puluhan ia lebih terkenal daripada pendeta Osborn pada pertengahan tahun 1954 di Jakarta karena prestasinya menyembuhkan orang-orang sakit secara gaib. Di tinjau dari sudut tertentu cara pengobatan Mbah Danu adalah rasional. Titik pangkal nya adalah suatu anggapan yang logis. Mbah Danu menegaskan, bahwa orang sakit itu,’’didiami” oleh roh-roh jahat; karena itu cara satu- satunya untuk menyembahkan adalah dengan menghalaukan makhluk yang merugikan kesehatan itu.
L.  Komplikasi
Wajahnya kasar-kasar seperti tengkorak, kulitnya liat seperti belulalang, pipinya selalu menonjol oleh susur tembakau  yang ada dlalam mulutnya, jalannya tegak seperti seorang maharani yang angkuh. Di Rembang di sekitar tahun tigah puluhan ia lebih terkenal daripada pendeta Osborn pada pertengahan tahun 1954 di Jakarta karena prestasinya menyembuhkan orang-orang sakit secara ghaib. Ditinjau dari sudut tertentu cara pengobatan Mbah Danu adalah rasional. Titik pangkalnya adalah suatu anggapan yang logis. Mbah Danu menegaskan, bahwa orang sakit itu “didiami” oleh roh-roh jahat; karena itu cara satu-satunya untuk menyembuhkan adalah dengan menghalaukan makhluk yang merugikan kesehatan itu. Si Nah, pelayan pada keluarga Pak Jaksa (pension) telah sebulan sakit demam. Keadaannya makin lama makin payah. Matanya kelihatan putihnya saja, mulutnya berbuih dan ia mengeluarkan bunyi-bunyi binatang, kadang-kadang meringik seperti kuda, kadang-kadang menyalak, mengeong, berkaok-kaok, dan kalau sudah mengaum, anak-anak dan perempuan percaya, bahwa satu saat kemudian Nah akan menjelma menjadi macan gadungan. Menurut kabar-kabar yang cepatnya tersiar hampir seperti bertita radio, Mbah Danu sedang turne. Routenya adalah Lasem, Pamotan, Jatirogo, Bojonegoro, Tuban, Padangan, Cepu, Blora, dan kembali ke Rembang. Kini ia disinyalir  sudah ada di Blora, jadi sudah hampir pulang. Dan benar, ketika Nah tengah mengeong-ngeong seperti kucing kasmaran, Mbah Danu datang membawa koper besi yang sama antiknya dengan yang punya. Dia tembusi badan Nah, dengan pandang membara sambil mengelilingkan susur besar di dalam mulutnya. Nah, mengigau dengan mata tertutup, buih di mulutnya meleleh ke bawah membasahi bantalnya yang kumal seperti tempat duduk jeep militer yang sudah tua. Wajahnya pucat seperti kain mori.  “ambilkan sapu lidi!” perintah Mbah Danu dengan sikap Srikandi wayang orang. Kemudian ia mencengkeram lengan Nah dan menyeretnya dari tikar ke lantai. Sapu lidi  datang. Ukurannya istimewa besar, karena Pak Jaksa mempunyai 60 pohon kelapa di pekarangannya. Mbah Danu memegang sapu lidi itu pada ujungnya yang lunak, kemudian bongkoknya yang garis tengahnya kira-kira 10 cm itu dia ayunkan ke atas dan di pukulkan sekuat tenagaa ke pantat Nah yang terbaring miring. Segenap hadirin melotot matanya  dan megar kupingnya melihat dan mendengar pukulan dahsyat itu. “Ngeoooong! Keluar dari mulut Nah mendirikan bulu-bulu di kulit penonton.“Mampus engkau sekarang! Seru Mbah Danu bengis dan spu lidi terus-menerus menghantam pantat Nah dengan irama rhumba. Nah tidak mengeong lagi sekarang, melainkan mengaum seperti singa sirkus yang marah. Sebagian hadirin mau lari.“Minggat ayo minggat! Teriak Mbah Danu dengan amat murka dan dengan tendangan jitu Nah ditengkurapkannya. Kemudian deraannya menghujam pula pada pantat Nah yang kini sadar, bahwa ia manusia Nah, bukan kucing, anjing, kuda atau singa.“Aduh biyuuuuuung! Aduh biyuuuuuuuung!!”tangisnya menggaung..“Minggat! Minggat! Minggat!!” suara Mbah Danu menggelora sampai tetangga-tetangga dan pelintas-pelintas mengalir masuk ke rumah itu menyelidiki sebab-sebab suara ngeri yang mereka dengar.“Aduuuuuh! Aduh, aduh, aduuuuh!” pekik Nah seperti manusia biasa.“Minggat! Minggat! Ayo minggat!!” jerit Mbah Danu senyaring-nyaringnya sambil memukul dengan tangan kanan dan menggemgam susur di tangan kiri. Air ludahnya memercik merah ke lantai dan badan Nah dalam setengah lingkaran yang radiusnya ½ meter.“Salah hamba apa kok disuruh minggat dan dihajar?” tanya Nah sambil menangis dan ia mencoba merangkak.Sikap Mbah Danu sekaligus berubah.“Aku bukannya berbicara kepadamu, Nah,” katanya dengan suara mineur yang lembut.  “Aku mengusir setan-setan di dalam badanmu.”Sebagai pengeras perkataan yang terakhir, ia tegak sekali lagi serta memukulkan sapu lidi itu sedemikian kerasnya ke badan Nah, sehingga si sakit rebah ke lantai dan mengerang. Peluhnya bercucuran dan menguyupkan pakaiannya.“Ha! Hampir  modar engkau sekarang!” seru Mbah Danu dengan ganas sambil melangkah maju dan menginjak tubuh Nah dengan kedua kakinya. Selama lima menit ia mondar-mandir di atas badan Nah sampai napas si sakit seperti ububan pandai besi bunyinya. Kedua lengannya diacung-acungkan untuk mempertahankan keseimbangan. Gerak-geriknya persis seperti Batari Durga yang menari di atas mayat manusia. Setelah sudah, ia melentangkan badan Nah yang keringatnya membuat lantai mengkilat basah dan mukanya kini merah padam. Mbah Danu berdiri dan memberi isyarat supaya para penonton yang tak berkepentingan mengundurkan diri. Pintu ditutup dan ia kembali kepada pasiennya. Dengan gerakan-gerakan tangkas pakaian si sakit dibukanya dan kemudian seperti orang kegila-gilaan ia meremas-remas seluruh badan Nah, sambil menggelitik si sakit pada tempat-tempat yang penuh rasa geli. Dan mula-mula Nah menggelepar-gelepar, akhirnya kegelian seperti perawan yang sehat. Seperempat jam Mbah danu meraba-raba tubuh pasiennya, kemudian ia melepaskan dan tegak pada lututnya.“Setan-setan sudah lari dari badanmu, Nah”katanya tenang. “Engkau telah sembuh.” Dan di hadapan mata hadirin, Nah yang tadi sudah seperti setengah mati duduk bersandar pada dinding dan tersenyum seperti orang bangun tidur.“Tidurlah saja dulu sampai besok,” kata Mbah Danu lebih jauh sambil membaringkan dan menyelimuti Nah dengan penuh kasih sayang. Sebentar ia memijit-mijit kepala Nah kemudian memercikan ludah sedikit dari mulutnya pada dahi si sakit. Setelah itu ia berdiri dan keluar untuk meminumi kopinya. Prabawa Mbah Danu di rumah Pak Jaksa yang jadi sebagian prabawannya di daerah yang terentang dari Kudus sampai Tuban, dari Bonang sampai ke Randublatung, mengalami tantangan, ketika Mr.Salyo Kunto, salah seorang menantu Pak Jaksa, bersama istrinya mengunjungi mertuanya. Beberapa hari sesudah kedatangannya, Nyonya Salyo sakit kepala dan pegal-pegal tubuhnya. Bu Jaksa, sesuai dengan tradisi, segera menyuruh panggil Mbah Danu.“O, ada sedikit angin jahat bersarang di dalam, Raden Ayu,” kata Mbah Danu setelah mendengarkan gejala-gejala penyakit dari mulut Nyonya Salyo sendiri. “Coba buka baju saja akan saya usir.” Dan Mbah Danu mulai berpraktek. Pertama kali ibu jarinya kedua-duanya ditekankan ke dalam daging perut Nyonya Salyo, sehingga terbenam nama sekali dan si pasien mencetuskan bunyi yang sukar dilukiskan. Kemudian perut Nyonya Salyo ditekannya dengan kedua telapak tangannya sehingga angin keluar dari bawah dengan bunyi meletup. Setelah itu, punggung dan tengkuk mendapat giliran, dan dengan lega Nyonya Salyo bersendawa. Kemudian Mbah Danu melakukan kombinasi kedua pijetan itu, sehingga angin-angin berlomba-lomba keluar dari atas dan dari bawah dengan berletusan. Justru ketika itu Mr.Salyo masuk ke kamar dari jalan-jalan ke tepi pantai. Dengan keras Mbah Danu diperintahkannya keluar dari kamar seperti Mbah Danu mengusir setan-setan dari tubuh-tubuh orang sakit. Kemudian istrinya dimarahinya “Engkau tahu bukan, bahwa pijetan itu bisa merusakan rahimmu?!” Sebagai akibat insiden itu, Mbah Danu tak diizinkan menginjak lantai rumah itu kalau menantu akademikus Pak Jaksa itu datang. Suatu kekalahan bagi Mbah Danu. Untung hal itu terjadi paling kerap hanya dua kali dalam setahun. Pada waktu-waktu lainnya kedaulatan Mbah Danu tetap utuh. Clash ke-2 antara Mbah Danu dan Mr. Salyo, meskipun tak langsung berhadap-hadapan, terjadi ketika Mbok Rah, pelayan Pak Jaksa yang setengah umur, sakit keras, justru ketika menantu Pak Jaksa yang berpendidikan tinggi itu berkunjung ke Rembang, Pak Jaksa dan Bu Jaksa tanpa pikir panjang segera menyuruh Mbah Danu ketika Mbok Rah sudah mulai mengigau sedangkan Mr. Salyo dengan penuh pertimbangan meminta datang Dokter Umar Chattab. Sangat kebetulan Dokter Umar Chattab lebih awal datangnya daripada Mbah Danu yang tidak punya mobil. Sehingga yang beraksi tangan di stetoskop. Dokter Umar, bukan tangan dan air ludah Mbah Danu.“Malaria,” diagnose Dokter Umar Chattab di kamar Mbok Rah yang gelap. Ia memberi resep kinine, yang pada masa itu satu-satunya obat yang mujarab untuk malaria. Setelah memberi petunjuk-petunjuk lain tentang makan dan rawatan si sakit, Pak Dokter pulang. Penyakit Mbok Rah semakin lama makin keras. Pak Jaksa dan Bu Jaksa dan tetangga-tetangga yang dekat, tahu benar apa sebabnya. Kualat Mbah Danu! Dan mereka mendesak, agar supaya Mbah Danu dipanggil. Tetapi sebagai jawaban, Mr. Salyo memanggil Dokter Umar Chattab. Soal ini jadi perkara kehormatan baginya, dan perhubungan antara mertua dengan menantu jadi tegang. Nyonya Salyo dengan susah payah bisa tetap tinggal netral, tetapi, sebagaimana juga di dalam politik ia dipandang dengan marah oleh kedua pihak yang bertentangan. Namun ia tetap mempertahankan politik bebas yang pasif itu.

M.   Evaluasi
Dokter Umar Chattab heran. “Kininenya sudah Tuan berikan sebagai yang saya tetapkan?”tanyanya.”ya,” jawab Nyonya Salyo mendahului suaminya. Saya sendiri yang memberikan pil-pil itu kepada Mbok Rah. “Dokter Umar Chattab pulang dengan tidak mengubah ketetapannya. Hanya saja ia berpesan, agar supaya waktu menelan pil si sakit diawasi sungguh-sungguh. Kaeadaan Mbok Rah makin lam makin buruk dan malamnya lagi ia mati. Perang dingin kini mencair jadi gugatan-gugatan lisan yang pedas meskipun tak ditujukan secara langsung. Dengan tak dipanggil, Mbah Danu datang sendiri. Mr.Salyo mengundurkan diri ke dalam kamar tamu. Asbaknya penuh dengan punting sigaret.”kita telah berbuat sebaik mungkin,”kata Nyonya Salyo menghibur suaminya. “Mengapa Jeng, mengapa ia meninggal?! Seru Mr.Salyo dengan gairah sambil memeluk bahu istrinya yang tidak menjawab.”kita tak bisa percaya kepada nonsense itu bukan!”katanya lagi.”Innali’llahi wa ina inna illahi raji’un,”kata Nyonya Salyo.
N.  Resolusi
Ketika fajar menyingsing, persiapan-persiapan untuk penguburan dimulai. Pada jam 7 orang-orang masuk ke kamar jenazah dan mengangkatnya ke luar. Mr.Salyo dan Nyonya ikut menyaksikan pengambilan jenazah dari dalam kamar tempat Ia dan Dokter Umar Chattab menderita kekalahan terhadap mertuanya dan Mbah Danu. Nyonya Salyo yang mendampingi suami di kamar itu di dalam hati kecilnya cenderung kepada ayah bundanya, tetapi harus merasa solider dengan kekecewaan suaminya. Hawa di dalam kamar itu pengap, tambah menyesak dada oleh asap kemenyan Mr.Salyo membuka jendela lebar-lebar, sehingga sinar matahari pagi masuk dengan gelombang besar. Suatu sosok tubuh muncul di ambang pintu, Mbah Danu. Matanya membara, Mr.Salyo merasa tengkuknya dingin. Ia menghela nafas panjang dan melemparkan pandang terakhir kepada bale-bale tempat semalam jenazah terbaring. Denagan sangat tiba-tiba ia terpekik dan telunjuknya diacungkannya ke sudut kamar. Matanya terbelalak lebar-lebar. Nyonya Salyo dan Mbah Danu menengok, dan mereka juga melihat pil kinine membukit dilantai di bawah bale-bale Mbok Rah.
O.  Coda
Hubungan teks sastra masyarakat berkaitan erat antar teks sastra dengan kenyataan. Di dlam karya sastra terdapat nilai budaya sebagai cerminan dari masyarakat. Dalam cerita “Mbah Danu”, terlihat budaya zaman dahulu  yang masih percaya dengan hal-hal yang berbau mistik dan bertolak belakang dengan kenyataan yang terjadi pada sekarang ini. Yaitu percaya dengan dukun, tabib, nonsense, dan sebagainya, dalam kali ini Mbah Danu. Memasuki zaman yang telah modern, seseorang yang berpendidikan tinggi memasuki wilayah di mana masyarakatnya masih mempercayai hal-hal yang berbau mistik. Dia mulai merubah pola pikir masyarakat setempat dengan pola pikirnya, awalnya masyarakat tidak setuju dan menolaknya. Masyarakat setempat masih percaya dengan keyakinannya, Mbah Danu adalah dukun sakti penyembuh orang sakit. Setelah jatuh seorang korban akibat tidak percaya dengan obat yang dibawa dokter, barulah masyarakat setempat mengakui dan percaya dengan obat sebagai penyembuh orang sakit dan dokter sebagai sarannya.
P.   Pembayangan
Prabawa Mbah Danu di rumah Pak Jaksa mengalami tantangan ketika menantu Pak Jaksa yaitu Mr.Salyo datang mengunjungi rumahnya. Nyonya Salyo sakit kemudian Mbah Danu datang untuk mengobatinya dengan melakukan kombinasi pijatan yang berbahaya. Dan Mr.Salyo datang dan memarahi Mbah Danu kemudian mengusirnya.
Dari penjelasan diatas jelas sekali ada pembayangan bahwa sudah diprediksikan prabawa Mbah Danu mengalami hambatan ketika Mr.Salyo datang ke rumah Pak Jaksa. Hingga Nyonya Salyo jatuh sakit dan diobati Mbah Danu dengan pijatan-pijatan yang membahayakan rahim Nyonya Salyo, dan benar sekali Prabawa Mbah Danu sudah hilangketika Mr.Salyo datang dan memarahi Mbah Danu bahkan hingga mengusirnya, dilarang untuk menginjak kembali rumah Pak Jaksa. Pembayangan tersebut dapat dibuktikan dalam kutipan :
“Prabawa Mbah Danu di rumah Pak Jaksa yang jadi sebagian prabawannya di daerah yang terentang dari Kudus sampai Tuban, dari Bonang sampai ke Randublatung, mengalami tantangan, ketika Mr.Salyo Kunto, salah seorang menantu Pak Jaksa, bersama istrinya mengunjungi mertuanya. Beberapa hari sesudah kedatangannya, Nyonya Salyo sakit kepala dan pegal-pegal tubuhnya. Bu Jaksa, sesuai dengan tradisi, segera menyuruh panggil Mbah Danu.“O, ada sedikit angin jahat bersarang di dalam, Raden Ayu,” kata Mbah Danu setelah mendengarkan gejala-gejala penyakit dari mulut Nyonya Salyo sendiri. “Coba buka baju saja akan saya usir.” Dan Mbah Danu mulai berpraktek. Pertama kali ibu jarinya kedua-duanya ditekankan ke dalam daging perut Nyonya Salyo, sehingga terbenam nama sekali dan si pasien mencetuskan bunyi yang sukar dilukiskan. Kemudian perut Nyonya Salyo ditekannya dengan kedua telapak tangannya sehingga angin keluar dari bawah dengan bunyi meletup. Setelah itu, punggung dan tengkuk mendapat giliran, dan dengan lega Nyonya Salyo bersendawa. Kemudian Mbah Danu melakukan kombinasi kedua pijetan itu, sehingga angin-angin berlomba-lomba keluar dari atas dan dari bawah dengan berletusan. Justru ketika itu Mr.Salyo masuk ke kamar dari jalan-jalan ke tepi pantai. Dengan keras Mbah Danu diperintahkannya keluar dari kamar seperti Mbah Danu mengusir setan-setan dari tubuh-tubuh orang sakit. Kemudian istrinya dimarahinya “Engkau tahu bukan, bahwa pijetan itu bisa merusakan rahimmu?!” Sebagai akibat insiden itu, Mbah Danu tak diizinkan menginjak lantai rumah itu kalau menantu akademikus Pak Jaksa itu datang. Suatu kekalahan bagi Mbah Danu.
Q.  Ciri-Ciri Bahasa Cerpen
1.      Memuat kata-kata sifat untuk mendeskripsikan pelaku, penampilan fisik atau kepribadiannya
Lunak “Mbah Danu memegang sapu lidi itu pada ujungnya yang lunak, kemudian bongkoknya yang garis tengahnya kira-kira 10 cm.
Keras “Dengan keras Mbah Danu diperintahkannya keluar dari kamar seperti Mbah Danu mengusir setan dari tubuh orang sakit kemudian istrinya dimarahinya.
Keras “Ketika Mbok Rah, pelayan Pak Jaksa setengah umur, sakit keras, justru ketika menantu Pak Jaksa yang berpendidikan itu berkunjung ke Rembang.
Buruk “Keadaan Mbok Rah makin lama makin buruk dan malamnya lagi Ia meninggal.
Tangkas “Dengan gerakan-gerakan tangkas pakaian si sakit dibukanya dan kemudian seperti orang kegila-gilaan ia meremas-remas seluruh badan Nah, sambil menggelitik si sakit pada tempat-tempat yang penuh rasa geli”.
Ganas “seru Mbah Danu dengan ganas sambil melangkah maju dan menginjak tubuh Nah dengan kedua kakinya. Selama lima menit ia mondar-mandir di atas badan Nah sampai napas si sakit seperti ububan pandai besi bunyinya”.
Gelap “Malaria,” diagnose Dokter Umar Chattab di kamar Mbok Rah yang gelap. Ia memberi resep kinine, yang pada masa itu satu-satunya obat yang mujarab untuk malaria. Setelah memberi petunjuk-petunjuk lain tentang makan dan rawatan si sakit, Pak Dokter pulang.
2.      Memuat kata-kata keterangan untuk menggambarkan latar (latar waktu, latar tempat, latar suasana.
3.      Memuat kata kerja yang menunjukkan peristiwa-peristiwa yang dialami para pelaku
-       Menyembuhkan “Pada penderita Osborn pada pertengahan tahun 1945 di Jakarta karena prestasinya menyembuhkan orang-orang sakit secara ghaib”.
-       Memukulkan “Mbah Danu memukulkan sapu lidi kepada Nah sebagai media pengobatannya”.
-       Pukulkan “Kemudian bongkoknya yang garis tengahnya kira-kira 10 cm dia ayunkan ke atas dan dia pukulkan sekuat tenaga ke pantat Nah yang terbaring miring”.
-       Lari “Setan-setan sudah lari dari badanmu, Nah”.
-       Menginjak “seru Mbah Danu dengan ganas sambil melangkah maju dan menginjak tubuh Nah dengan kedua kakinya”
-       Mengeluarkan “Keadaannya makin lama makin payah. Matanya kelihatan putihnya saja, mulutnya berbuih dan ia mengeluarkan bunyi-bunyi binatang, kadang-kadang meringik seperti kuda, kadang-kadang menyalak, mengeong, berkaok-kaok, dan kalau sudah mengaum, anak-anak dan perempuan percaya, bahwa satu saat kemudian Nah akan menjelma menjadi macan gadungan”.
-       Menelantangkan “Setelah sudah, ia melentangkan badan Nah yang keringatnya membuat lantai mengkilat basah dan mukanya kini merah padam”.
4.      Memuat kata ganti
Mbah Danu memiliki kata ganti menjadi ia, dibuktikan dalam kutipan :
“Kini ia disinyalir sudah ada di Blora, jadi sudah hampir pulang.”
Memuat kata ganti yaitu Mbah Danu, Nah, Mbok Rah, Mr. Salyo, Nyonya Salyo dan Dokter Umar Chattab.
Dokter Umar Chattab memiliki kata ganti menjadi Ia, dibuktikan dalam kutipan :
“Ia memberi resep kinine, yang pada masa itu satu-satunya obat yang mujarab untuk malaria.”
Pak Jaksa dan Bu Jaksa memiliki kata ganti menjadi mereka, dibuktikan dalam kutipan:
“Pak Jaksa dan Bu Jaksa dan tetangga-tetangga yang dekat, tahu benar apa sebabnya. Kualat Mbah Danu! Dan mereka mendesak agar supaya Mbah Danu dipanggil.”
Nyonya Salyo memiliki kata ganti menjadi Ia, dibuktikan dalam kutipan :
“Nyonya Salyo dengan susah payah bisa tetap tinggal netral, tetapi, sebagaimana juga di dalam politik ia di pandang dengan marah oleh kedua pihak yang bertentangan. Namun ia tetap mempertahankan politik bebas yang pasif itu.”
Dokter Umar Chattab memiliki kata ganti menjadi saya, dibuktikan dalam kutipan :
“Kininenya sudah Tuan berikan sebagai yang saya tetapkan? tanyanya.”
Nyonya Salyo memiliki kata ganti menjadi saya, dibuktikan dalam kutipan :
“Ya, jawab Nyonya Salyo mendahului suaminya. Saya sendiri yang memberikan pil-pil itu kepada Mbok Rah.”
Dokter Umar Chattab memiliki kata ganti menjadi Ia,dibuktikan dalam kutipan :
“Dokter Umar Chattab pulang dengan tidak mengubah ketetapannya. Hanya saja ia terkesan, agar supaya waktu menelan pil si sakit di awasi sungguh-sungguh.”
Nyonya Salyo dan Mr. Salyo memiliki kata ganti menjadi kita, dibuktikan dalam kutipan :
“kita telah berbuat sebaik mungkin.”
Mbok Rah memiliki kata ganti menjadi ia, dibuktikan dalam kutipan :
“Mengapa jeng? Mengapa ia meninggal?!.”
Nyonya Salyo dan Mr.Salyo memiliki kata ganti menjadi kita, dibuktikan dalam kutipan :
“kita tak bisa percaya kepada nonsense itu bukan! Katanya lagi.”
Mbok Rah memiliki kata ganti menjadi ia, dibuktikan dalam kutipan :
“Mr. Salyo dan Nyonya ikut menyaksikan pengambilan jenazah dari dalam kamar tempat ia dan Dokter Umar Chattab menderita kekalahan terhadap mertuanya dan Mbah Danu.”
‘’Aku bukannya berbicara kepadamu, Nah,’’ katanya dengan suara miner yang lembu. “Aku mengusir setan-setan di dalam badanmu”
Sebagai pengeras perkataan yang terakhir, Ia tegak sekali lagi serta memukulkan sapu lidi itu sedemikian kerasnya kepada Nah, sehingga si sakit rebah ke lantai dan mengerang.
“Ha! Hampir modar engkau sekarang!” seru Mbah Danu dengan ganas sambil melangkah maju dan menginjak tubuh Nah dengan kedua kakinya. Setelah sudah, ia menelantangkan badan Nah yang keringatnya membuat lantaiu mengkilat basah dan mukanya kini merah padam.
Mbah Danu berdiri dan memberi isyarat supaya para penonton yang tak berkepentingan mengundurkan diri. Pintu ditutup dan ia kembali kepada pasiennya.

Dengan geraka-gerakan tangkas pakaian si sakit dibukanya dan kemudian seperti orang kegila-gilaan ia meremas-remas seluruh badan Nah, sambil menggelitik si sakit pada tempat-tempat yang penuh rasa geli.

1 comment: