Analisis
Cerpen “Mbah Danu”
Karya Nugroho
Noto Susanto
A.
Satuan Peristiwa Cerpen Mbah Danu
1. Wajahnya kasar-kasar seperti
tengkorak, kulitnya liat seperti belulalang, pipinya selalu menonjol oleh susur
tembakau yang ada dlalam mulutnya,
jalannya tegak seperti seorang maharani yang angkuh. Di Rembang di sekitar
tahun tigah puluhan ia lebih terkenal daripada pendeta Osborn pada pertengahan
tahun 1954 di Jakarta karena prestasinya menyembuhkan orang-orang sakit secara
ghaib. Ditinjau dari sudut tertentu cara pengobatan Mbah Danu adalah rasional.
Titik pangkalnya adalah suatu anggapan yang logis. Mbah Danu menegaskan, bahwa
orang sakit itu “didiami” oleh roh-roh jahat; karena itu cara satu-satunya
untuk menyembuhkan adalah dengan menghalaukan makhluk yang merugikan kesehatan
itu.
2. Si Nah,
pelayan pada keluarga Pak Jaksa (pension) telah sebulan sakit demam.
3. Keadaannya makin
lama makin payah. Matanya kelihatan putihnya saja, mulutnya berbuih dan ia
mengeluarkan bunyi-bunyi binatang, kadang-kadang meringik seperti kuda,
kadang-kadang menyalak, mengeong, berkaok-kaok, dan kalau sudah mengaum,
anak-anak dan perempuan percaya, bahwa satu saat kemudian Nah akan menjelma
menjadi macan gadungan.
4.
Menurut kabar-kabar yang cepatnya tersiar hampir seperti bertita radio, Mbah
Danu sedang turne. Routenya adalah Lasem, Pamotan, Jatirogo, Bojonegoro, Tuban,
Padangan, Cepu, Blora, dan kembali ke Rembang. Kini ia disinyalir sudah ada di Blora, jadi sudah hampir pulang.
5. Dan benar,
ketika Nah tengah mengeong-ngeong seperti kucing kasmaran, Mbah Danu datang
membawa koper besi yang sama antiknya dengan yang punya.
6. Dia tembusi
badan Nah, dengan pandang membara sambil mengelilingkan susur besar di dalam
mulutnya. Nah, mengigau dengan mata tertutup, buih di mulutnya meleleh ke bawah
membasahi bantalnya yang kumal seperti tempat duduk jeep militer yang sudah
tua. Wajahnya pucat seperti kain mori.
7. “ambilkan
sapu lidi!” perintah Mbah Danu dengan sikap Srikandi wayang orang. Kemudian ia
mencengkeram lengan Nah dan menyeretnya dari tikar ke lantai. Sapu lidi datang. Ukurannya istimewa besar, karena Pak
Jaksa mempunyai 60 pohon kelapa di pekarangannya. Mbah Danu memegang sapu lidi
itu pada ujungnya yang lunak, kemudian bongkoknya yang garis tengahnya
kira-kira 10 cm itu dia ayunkan ke atas dan di pukulkan sekuat tenagaa ke
pantat Nah yang terbaring miring. Segenap hadirin melotot matanya dan megar kupingnya melihat dan mendengar
pukulan dahsyat itu.
8. “Ngeoooong!
Keluar dari mulut Nah mendirikan bulu-bulu di kulit penonton.
“Mampus engkau sekarang! Seru Mbah Danu
bengis dan spu lidi terus-menerus menghantam pantat Nah dengan irama rhumba.
Nah tidak mengeong lagi sekarang, melainkan mengaum seperti singa sirkus yang
marah. Sebagian hadirin mau lari.
9. “Minggat ayo
minggat! Teriak Mbah Danu dengan amat murka dan dengan tendangan jitu Nah
ditengkurapkannya. Kemudian deraannya menghujam pula pada pantat Nah yang kini
sadar, bahwa ia manusia Nah, bukan kucing, anjing, kuda atau singa.
10. “Aduh
biyuuuuuung! Aduh biyuuuuuuuung!!”tangisnya menggaung.
11.“Minggat!
Minggat! Minggat!!” suara Mbah Danu menggelora sampai tetangga-tetangga dan
pelintas-pelintas mengalir masuk ke rumah itu menyelidiki sebab-sebab suara
ngeri yang mereka dengar.
“Aduuuuuh! Aduh, aduh, aduuuuh!” pekik Nah
seperti manusia biasa.
12.“Minggat!
Minggat! Ayo minggat!!” jerit Mbah Danu senyaring-nyaringnya sambil memukul
dengan tangan kanan dan menggemgam susur di tangan kiri. Air ludahnya memercik
merah ke lantai dan badan Nah dalam setengah lingkaran yang radiusnya ½ meter.
“Salah hamba apa kok disuruh minggat dan
dihajar?” tanya Nah sambil menangis dan ia mencoba merangkak.
13. Sikap Mbah
Danu sekaligus berubah.
14.“Aku bukannya
berbicara kepadamu, Nah,” katanya dengan suara mineur yang lembut. “Aku mengusir setan-setan di dalam badanmu.”
15. Sebagai
pengeras perkataan yang terakhir, ia tegak sekali lagi serta memukulkan sapu
lidi itu sedemikian kerasnya ke badan Nah, sehingga si sakit rebah ke lantai
dan mengerang. Peluhnya bercucuran dan menguyupkan pakaiannya.
16.“Ha!
Hampir modar engkau sekarang!” seru Mbah
Danu dengan ganas sambil melangkah maju dan menginjak tubuh Nah dengan kedua
kakinya. Selama lima menit ia mondar-mandir di atas badan Nah sampai napas si
sakit seperti ububan pandai besi bunyinya. Kedua lengannya diacung-acungkan
untuk mempertahankan keseimbangan. Gerak-geriknya persis seperti Batari Durga
yang menari di atas mayat manusia.
17. Setelah
sudah, ia melentangkan badan Nah yang keringatnya membuat lantai mengkilat
basah dan mukanya kini merah padam.
18. Mbah Danu
berdiri dan memberi isyarat supaya para penonton yang tak berkepentingan mengundurkan
diri. Pintu ditutup dan ia kembali kepada pasiennya. Dengan gerakan-gerakan
tangkas pakaian si sakit dibukanya dan kemudian seperti orang kegila-gilaan ia
meremas-remas seluruh badan Nah, sambil menggelitik si sakit pada tempat-tempat
yang penuh rasa geli. Dan mula-mula Nah menggelepar-gelepar, akhirnya kegelian
seperti perawan yang sehat. Seperempat jam Mbah danu meraba-raba tubuh
pasiennya, kemudian ia melepaskan dan tegak pada lututnya.
19.“Setan-setan
sudah lari dari badanmu, Nah”katanya tenang. “Engkau telah sembuh.” Dan di
hadapan mata hadirin, Nah yang tadi sudah seperti setengah mati duduk bersandar
pada dinding dan tersenyum seperti orang bangun tidur.
20.“Tidurlah
saja dulu sampai besok,” kata Mbah Danu lebih jauh sambil membaringkan dan
menyelimuti Nah dengan penuh kasih sayang. Sebentar ia memijit-mijit kepala Nah
kemudian memercikan ludah sedikit dari mulutnya pada dahi si sakit. Setelah itu
ia berdiri dan keluar untuk meminumi kopinya.
21. Prabawa Mbah
Danu di rumah Pak Jaksa yang jadi sebagian prabawannya di daerah yang terentang
dari Kudus sampai Tuban, dari Bonang sampai ke Randublatung, mengalami
tantangan, ketika Mr.Salyo Kunto, salah seorang menantu Pak Jaksa, bersama istrinya
mengunjungi mertuanya.
22. Beberapa
hari sesudah kedatangannya, Nyonya Salyo sakit kepala dan pegal-pegal tubuhnya.
23. Bu Jaksa,
sesuai dengan tradisi, segera menyuruh panggil Mbah Danu.
24.
“O, ada sedikit angin jahat bersarang di dalam, Raden Ayu,” kata Mbah Danu
setelah mendengarkan gejala-gejala penyakit dari mulut Nyonya Salyo sendiri.
“Coba buka baju saja akan saya usir.” Dan Mbah Danu mulai berpraktek. Pertama
kali ibu jarinya kedua-duanya ditekankan ke dalam daging perut Nyonya Salyo,
sehingga terbenam nama sekali dan si pasien mencetuskan bunyi yang sukar
dilukiskan. Kemudian perut Nyonya Salyo ditekannya dengan kedua telapak
tangannya sehingga angin keluar dari bawah dengan bunyi meletup. Setelah itu,
punggung dan tengkuk mendapat giliran, dan dengan lega Nyonya Salyo bersendawa.
Kemudian Mbah Danu melakukan kombinasi kedua pijetan itu, sehingga angin-angin
berlomba-lomba keluar dari atas dan dari bawah dengan berletusan.
25. Justru ketika
itu Mr.Salyo masuk ke kamar dari jalan-jalan ke tepi pantai. Dengan keras Mbah
Danu diperintahkannya keluar dari kamar seperti Mbah Danu mengusir setan-setan
dari tubuh-tubuh orang sakit.
26. Kemudian
istrinya dimarahinya.
“Engkau tahu bukan, bahwa pijetan itu
bisa merusakan rahimmu?!”
Sebagai akibat insiden itu, Mbah Danu
tak diizinkan menginjak lantai rumah itu kalau menantu akademikus Pak Jaksa itu
datang. Suatu kekalahan bagi Mbah Danu. Untung hal itu terjadi paling kerap
hanya dua kali dalam setahun. Pada waktu-waktu lainnya kedaulatan Mbah Danu
tetap utuh.
27. Clash ke-2
antara Mbah Danu dan Mr. Salyo, meskipun tak langsung berhadap-hadapan, terjadi
ketika Mbok Rah, pelayan Pak Jaksa yang setengah umur, sakit keras, justru
ketika menantu Pak Jaksa yang berpendidikan tinggi itu berkunjung ke Rembang,
Pak Jaksa dan Bu Jaksa tanpa pikir panjang segera menyuruh Mbah Danu ketika
Mbok Rah sudah mulai mengigau sedangkan Mr. Salyo dengan penuh pertimbangan
meminta datang Dokter Umar Chattab. Sangat kebetulan Dokter Umar Chattab lebih
awal datangnya daripada Mbah Danu yang tidak punya mobil. Sehingga yang beraksi
tangan di stetoskop. Dokter Umar, bukan tangan dan air ludah Mbah Danu.
“Malaria,” diagnose Dokter Umar Chattab di
kamar Mbok Rah yang gelap. Ia memberi resep kinine, yang pada masa itu
satu-satunya obat yang mujarab untuk malaria. Setelah memberi petunjuk-petunjuk
lain tentang makan dan rawatan si sakit, Pak Dokter pulang.
28. Penyakit
Mbok Rah semakin lama makin keras. Pak Jaksa dan Bu Jaksa dan tetangga-tetangga
yang dekat, tahu benar apa sebabnya. Kualat Mbah Danu! Dan mereka mendesak,
agar supaya Mbah Danu dipanggil. Tetapi sebagai jawaban, Mr. Salyo memanggil
Dokter Umar Chattab. Soal ini jadi perkara kehormatan baginya, dan perhubungan
antara mertua dengan menantu jadi tegang. Nyonya Salyo dengan susah payah bisa
tetap tinggal netral, tetapi, sebagaimana juga di dalam politik ia dipandang
dengan marah oleh kedua pihak yang bertentangan. Namun ia tetap mempertahankan
politik bebas yang pasif itu.
30. Dokter Umar
Chattab heran.
“Kininenya sudah Tuan berikan sebagai
yang saya tetapkan?” tanyanya.
“Ya,” jawab Nyonya Salyo mendahului
suaminya. “Saya sendiri yang memberikan pil-pil itu kepada Mbok Rah.”
31. Dokter Umar
Chattab pulang dengan tidak mengubah ketetapannya. Hanya saja ia berpesan, agar
supaya waktu menelan pil si sakit diawasi sungguh-sungguh.
33. Keadaan Mbok
Rah makin lama makin buruk dan malamnya lagi ia mati.
34. Perang dingin
kini mencair jadi gugatan-gugatan lisan yang pedas meskipun tak ditujukan secara
langsung. Dengan tak dipanggil, Mbah Danu datang sendiri. Mr. Salyo
mengundurkan diri ke dalam kamar tamu. Asbaknya penuh dengan punting si garet.
“Kita telah berbuat sebaik mungkin,”
kata Nyonya Salyo menghibur suaminya.
“Mengapa Jeng, mengapa ia meninggal?!”
seru Mr. Salyo dengan gairah sambil memeluk bahu istrinya yang tidak menjawab.
“Kita tak bisa percaya kepada nonsense
itu bukan!” katanya lagi.
“Inna li’llahi wa inna illahi raji’un,”
kata Nyonya Salyo.
35. Ketika fajar
menyingsing, persiapan-persiapan untuk penguburan dimulai. Pada jam 7
orang-orang masuk ke kamar jenazah dan mengangkatnya ke luar. Mr. Salyo dan Ny.
Salyo ikut menyaksikan pengambilan jenazah dari dalam kamar tempat ia dan
Dokter Umar Chattab menderita kekalahan terhadap mertuanya dan Mbah Danu.
Nyonya Salyo yang mendampingi suami di kamar itu di dalam hati kecilnya
cenderung kepada ayah-bundanya, tetapi merasa harus solider dengan kekecewaan
suaminya.
36. Hawa di
dalam kamar itu pengap, tambah menyesak dada oleh asap kemenyan. Mr. Salyo
membuka jendela lebar-lebar, sehingga sinar matahari pagi masuk dengan
gelombang besar. Suatu sosok tubuh muncul di ambang pintu, Mbah Danu. Matanya
membara. Mr. Salyo merasa tengkuknya dingin. Ia menghela napas panjang dan melemparkan
pandang terakhir kepada bale-bale tempat semalam jenazah terbaring. Dengan
sangat tiba-tiba ia terpekik dan telunjuknya diacungkan ke sudut kamar. Matanya
terbelalak lebar-lebar. Nyonya Salyo dan Mbah Danu menengok. Dan juga mereka
melihat pil kinine membungkit di lantai di bawah bale-bale Mbok Rah.
B. Tahapan Alur
1. Tahap
Permulaan (Exposition)
Mbah Danu terkenal
sebagai orang yang suka mengobati orang lain secara ghaib.
Terdapat pada satuan
peristiwa nomor 1
“Wajahnya
kasar-kasar seperti tengkorak, kulitnya liat seperti belulang, pipinya selalu
menonjol oleh susur tembakau yang ada
dalam mulutnya, jalannya tegak seperti seorang maharani yang angkuh. Di Rembang
di sekitar tahun tiga puluhan ia lebih terkenal daripada pendeta Osborn pada pertengahan
tahun 1954 di Jakarta karena prestasinya menyembuhkan orang-orang sakit secara
ghaib. Ditinjau dari sudut tertentu cara pengobatan Mbah Danu adalah rasional.
Titik pangkalnya adalah suatu anggapan yang logis. Mbah Danu menegaskan, bahwa
orang sakit itu “didiami” oleh roh-roh jahat; karena itu cara satu-satunya
untuk menyembuhkan adalah dengan menghalaukan makhluk yang merugikan kesehatan
itu.”
Dari
kutipan tersebut pengarang mencoba memperkenalkan tokoh Mbah Danu beserta
karakternya yang bisa menyembuhkan orang sakit secara ghaib yang berwatak
angkuh.
2. Tahap
Pertikaian (Inciting Force dan Ricing Action)
Mr. Salyo tidak percaya terhadap
cara pengobatan yang dilakukan Mbah Danu, Terdapat pada satuan peristiwa nomor
21-25
“Prabawa
Mbah Danu di rumah Pak Jaksa yang jadi sebagian prabawannya di daerah yang
terentang dari Kudus sampai Tuban, dari Bonang sampai ke Randublatung,
mengalami tantangan, ketika Mr.Salyo Kunto, salah seorang menantu Pak Jaksa,
bersama istrinya mengunjungi mertuanya.”
“Beberapa
hari sesudah kedatangannya, Nyonya Salyo sakit kepala dan pegal-pegal tubuhnya”
“Bu
Jaksa, sesuai dengan tradisi, segera menyuruh panggil Mbah Danu.”
“O,
ada sedikit angin jahat bersarang di dalam, Raden Ayu,” kata Mbah Danu setelah
mendengarkan gejala-gejala penyakit dari mulut Nyonya Salyo sendiri. “Coba buka
baju saja akan saya usir.” Dan Mbah Danu mulai berpraktek. Pertama kali ibu
jarinya kedua-duanya ditekankan ke dalam daging perut Nyonya Salyo, sehingga
terbenam nama sekali dan si pasien mencetuskan bunyi yang sukar dilukiskan.
Kemudian perut Nyonya Salyo ditekannya dengan kedua telapak tangannya sehingga
angin keluar dari bawah dengan bunyi meletup. Setelah itu, punggung dan tengkuk
mendapat giliran, dan dengan lega Nyonya Salyo bersendawa. Kemudian Mbah Danu
melakukan kombinasi kedua pijetan itu, sehingga angin-angin berlomba-lomba
keluar dari atas dan dari bawah dengan berletusan.”
“
Justru ketika itu Mr.Salyo masuk ke kamar dari jalan-jalan ke tepi pantai.
Dengan keras Mbah Danu diperintahkannya keluar dari kamar seperti Mbah Danu
mengusir setan-setan dari tubuh-tubuh orang sakit.”
Dalam kutipan di
atas membuktikan bahwa Mr.Salyo tida percaya terhadap cara pengobatan ghaib
yang dilakukan Mbah Danu. Ketika Ny. Salyo sakit kemudian diobati oleh Mbah
Danu dengan pijatan-pijatan seketika Mr.Salyo datang dan langsung mengusir Mbah
Danu. Dari perilaku tokoh nya pun tergambar jelas bahwa sama sekali tidak
percaya akan pengobatan ghaib, terutama yang dilakukan Mbah Danu terhadap
Ny.salyo yang dianggap dapat merusak rahimnya.
3. Konflik
(Tahap Perumitan)
Pertikaian terjadi ketika Mbah Danu
mengobati istri Mr. Salyo dengan cara memijit-mijit perutnya. Terdapat pada
satuan peristiwa yang dimuklai dari nomor 25-26
“Justru
ketika itu Mr.Salyo masuk ke kamar dari jalan-jalan ke tepi pantai. Dengan
keras Mbah Danu diperintahkannya keluar dari kamar seperti Mbah Danu mengusir
setan-setan dari tubuh-tubuh orang sakit.”
“Kemudian
istrinya dimarahinya.
“Engkau tahu bukan, bahwa pijetan itu bisa
merusakan rahimmu?!”
Sebagai akibat insiden itu, Mbah
Danu tak diizinkan menginjak lantai rumah itu kalau menantu akademikus Pak
Jaksa itu datang. Suatu kekalahan bagi Mbah Danu. Untung hal itu terjadi paling
kerap hanya dua kali dalam setahun. Pada waktu-waktu lainnya kedaulatan Mbah
Danu tetap utuh.”
Dalam kutipan
diatas jelas sekali tergambar ketidaksukaan Mr.Salyo terhadap cara pengobatan
Mbah Danu yang dianggap kuno dan membahayakan. Tokoh Mbah Danu di usir ketika
tengah mengobati Ny.Salyo, dan Ny.Salyo langsung dimarahi oleh Mr.Salyo.
akibatnya, Mbah Danu dilarang menginjak lagi rumah itu oleh Mr.Salyo.
4. Bagian
Puncak (Klimaks)
Ketika Mbok Rah sakit, Pak Jaksa
dan bu Jaksa akan memanggil Mbah Danu, tetapi Mr.Salyo mengusulkan supaya Mbok
Rah ditangani oleh dokter Umar Chattab. Tetapi setelah ditangani oleh dokter
Umar Chattab penyakit Mbok Rah semakin parah dan akhirnya meninggal,
meninggalnya Mbok Rah dianggap kualat dari Mbah Danu. Terdapat pada satuan
peristiwa yang dimulai dari nomor 27-31
“Clash
ke-2 antara Mbah Danu dan Mr. Salyo, meskipun tak langsung berhadap-hadapan,
terjadi ketika Mbok Rah, pelayan Pak Jaksa yang setengah umur, sakit keras,
justru ketika menantu Pak Jaksa yang berpendidikan tinggi itu berkunjung ke
Rembang, Pak Jaksa dan Bu Jaksa tanpa pikir panjang segera menyuruh Mbah Danu
ketika Mbok Rah sudah mulai mengigau sedangkan Mr. Salyo dengan penuh
pertimbangan meminta datang Dokter Umar Chattab. Sangat kebetulan Dokter Umar
Chattab lebih awal datangnya daripada Mbah Danu yang tidak punya mobil. Sehingga
yang beraksi tangan di stetoskop. Dokter Umar, bukan tangan dan air ludah Mbah
Danu.”
“Penyakit
Mbok Rah semakin lama makin keras. Pak Jaksa dan Bu Jaksa dan tetangga-tetangga
yang dekat, tahu benar apa sebabnya. Kualat Mbah Danu! Dan mereka mendesak, agar
supaya Mbah Danu dipanggil. Tetapi sebagai jawaban, Mr. Salyo memanggil Dokter
Umar Chattab. Soal ini jadi perkara kehormatan baginya, dan perhubungan antara
mertua dengan menantu jadi tegang. Nyonya Salyo dengan susah payah bisa tetap
tinggal netral, tetapi, sebagaimana juga di dalam politik ia dipandang dengan
marah oleh kedua pihak yang bertentangan. Namun ia tetap mempertahankan politik
bebas yang pasif itu.”
“Dokter
Umar Chattab heran.
“Kininenya
sudah Tuan berikan sebagai yang saya tetapkan?” tanyanya.
“Ya,”
jawab Nyonya Salyo mendahului suaminya. “Saya sendiri yang memberikan pil-pil
itu kepada Mbok Rah.”
“Dokter
Umar Chattab pulang dengan tidak mengubah ketetapannya. Hanya saja ia berpesan,
agar supaya waktu menelan pil si sakit diawasi sungguh-sungguh.”
“Keadaan
Mbok Rah makin lama makin buruk dan malamnya lagi ia mati.”
Dalam
kutipan diatas merupakan bagian puncak dari cerpen Mbah Danu karena Mbok Rah
sakitnya semakin parah dan orang-orang mengganggap kualat dari Mbah Danu.
Keluarga pak Jaksa meminta agar Mbah Danu dipanggil tetapi Mr. Salyo ingin
Dokter Umar Chattab yang dipanggil untuk mengobati Mbok Rah sehingga pada saat
itu terjadi perdebatan antara Mr. Salyo dan keluarga Pak Jaksa.
5. Tahap
Peleraian (Falling Actiont)
Mr. Salyo mengetahui kematian Mbok
Rah. Mbok Rah meninggal bukan kualat dari Mbah Danu tetapi karena Mbok Rah
tidak meminum obat pil kinine yang diberikan dokter Umar Chattab, tetapi malah
menyimpannya dibale-bale tempat tidur Mbok Rah. Terdapat pada satuan peristiwa
nomor 34-35
“Perang
dingin kini mencair jadi gugatan-gugatan lisan yang pedas meskipun tak
ditujukan sacara langsung. Dengan tak dipanggil, Mbah Danu datang sendiri. Mr.
Salyo mengundurkan diri ke dalam kamar tamu. Asbaknya penuh dengan punting si
garet.
“Kita
telah berbuat sebaik mungkin,” kata Nyonya Salyo menghibur suaminya.
“Mengapa
Jeng, mengapa ia meninggal?!” seru Mr. Salyo dengan gairah sambil memeluk bahu
istrinya yang tidak menjawab.
“Kita
tak bisa percaya kepada nonsense itu bukan!” katanya lagi.
“Inna
li’llahi wa inna illahi raji’un,” kata Nyonya Salyo.”
“Ketika
fajar menyingsing, persiapan-persiapan untuk penguburan dimulai. Pada jam 7
orang-orang masuk ke kamar jenazah dan mengangkatnya ke luar. Mr. Salyo dan Ny.
Salyo ikut menyaksikan pengambilan jenazah dari dalam kamar tempat ia dan
Dokter Umar Chattab menderita kekalahan terhadap mertuanya dan Mbah Danu.
Nyonya Salyo yang mendampingi suami di kamar itu di dalam hati kecilnya
cenderung kepada ayah-bundanya, tetapi merasa harus solider dengan kekecewaan
suaminya.”
6. Tahap
Akhir (Conclusion)
Terungkaplah penyebab Mbok Rah
meninggal akibat tidak meminum obat yang diberikan dokter Umar Chattab.
Terdapat pada satuan peristiwa nomor 36
“Hawa
di dalam kamar itu pengap, tambah menyesak dada oleh asap kemenyan. Mr. Salyo
membuka jendela lebar-lebar, sehingga sinar matahari pagi masuk dengan
gelombang besar. Suatu sosok tubuh muncul di ambang pintu, Mbah Danu. Matanya
membara. Mr. Salyo merasa tengkuknya dingin. Ia menghela napas panjang dan melemparkan
pandang terakhir kepada bale-bale tempat semalam jenazah terbaring. Dengan
sangat tiba-tiba ia terpekik dan telunjuknya diacungkan ke sudut kamar. Matanya
terbelalak lebar-lebar. Nyonya Salyo dan Mbah Danu menengok. Dan juga mereka
melihat pil kinine membungkit di lantai di bawah bale-bale Mbok Rah.”
C. Konflik Cerpen Mbah Danu
Cerpen Mbah Danu
termasuk jenis konflik manusia dengan manusia. Terdapat pada satuan peristiwa
nomor 21-31
“Prabawa Mbah
Danu di rumah Pak Jaksa yang jadi sebagian prabawannya di daerah yang terentang
dari Kudus sampai Tuban, dari Bonang sampai ke Randublatung, mengalami
tantangan, ketika Mr.Salyo Kunto, salah seorang menantu Pak Jaksa, bersama istrinya
mengunjungi mertuanya”.
“Beberapa hari
sesudah kedatangannya, Nyonya Salyo sakit kepala dan pegal-pegal tubuhnya”.
“Bu Jaksa,
sesuai dengan tradisi, segera menyuruh panggil Mbah Danu”.
“O, ada
sedikit angin jahat bersarang di dalam, Raden Ayu,” kata Mbah Danu setelah
mendengarkan gejala-gejala penyakit dari mulut Nyonya Salyo sendiri. “Coba buka
baju saja akan saya usir.” Dan Mbah Danu mulai berpraktek. Pertama kali ibu
jarinya kedua-duanya ditekankan ke dalam daging perut Nyonya Salyo, sehingga
terbenam nama sekali dan si pasien mencetuskan bunyi yang sukar dilukiskan.
Kemudian perut Nyonya Salyo ditekannya dengan kedua telapak tangannya sehingga
angin keluar dari bawah dengan bunyi meletup. Setelah itu, punggung dan tengkuk
mendapat giliran, dan dengan lega Nyonya Salyo bersendawa. Kemudian Mbah Danu
melakukan kombinasi kedua pijetan itu, sehingga angin-angin berlomba-lomba
keluar dari atas dan dari bawah dengan berletusan.
“Justru ketika
itu Mr.Salyo masuk ke kamar dari jalan-jalan ke tepi pantai. Dengan keras Mbah
Danu diperintahkannya keluar dari kamar seperti Mbah Danu mengusir setan-setan
dari tubuh-tubuh orang sakit”.
“Kemudian
istrinya dimarahinya”.
“Engkau
tahu bukan, bahwa pijetan itu bisa merusakan rahimmu?!”
Sebagai
akibat insiden itu, Mbah Danu tak diizinkan menginjak lantai rumah itu kalau
menantu akademikus Pak Jaksa itu datang. Suatu kekalahan bagi Mbah Danu. Untung
hal itu terjadi paling kerap hanya dua kali dalam setahun. Pada waktu-waktu
lainnya kedaulatan Mbah Danu tetap utuh.
“Clash
ke-2 antara Mbah Danu dan Mr. Salyo, meskipun tak langsung berhadap-hadapan,
terjadi ketika Mbok Rah, pelayan Pak Jaksa yang setengah umur, sakit keras,
justru ketika menantu Pak Jaksa yang berpendidikan tinggi itu berkunjung ke
Rembang, Pak Jaksa dan Bu Jaksa tanpa pikir panjang segera menyuruh Mbah Danu
ketika Mbok Rah sudah mulai mengigau sedangkan Mr. Salyo dengan penuh
pertimbangan meminta datang Dokter Umar Chattab. Sangat kebetulan Dokter Umar
Chattab lebih awal datangnya daripada Mbah Danu yang tidak punya mobil.
Sehingga yang beraksi tangan di stetoskop. Dokter Umar, bukan tangan dan air
ludah Mbah Danu”.
“Malaria,”
diagnose Dokter Umar Chattab di kamar Mbok Rah yang gelap. Ia memberi resep
kinine, yang pada masa itu satu-satunya obat yang mujarab untuk malaria.
Setelah memberi petunjuk-petunjuk lain tentang makan dan rawatan si sakit, Pak
Dokter pulang”.
“Penyakit
Mbok Rah semakin lama makin keras. Pak Jaksa dan Bu Jaksa dan tetangga-tetangga
yang dekat, tahu benar apa sebabnya. Kualat Mbah Danu! Dan mereka mendesak,
agar supaya Mbah Danu dipanggil. Tetapi sebagai jawaban, Mr. Salyo memanggil
Dokter Umar Chattab. Soal ini jadi perkara kehormatan baginya, dan perhubungan
antara mertua dengan menantu jadi tegang. Nyonya Salyo dengan susah payah bisa
tetap tinggal netral, tetapi, sebagaimana juga di dalam politik ia dipandang
dengan marah oleh kedua pihak yang bertentangan. Namun ia tetap mempertahankan
politik bebas yang pasif itu”.
“Dokter
Umar Chattab heran”.
“Kininenya
sudah Tuan berikan sebagai yang saya tetapkan?” tanyanya.
“Ya,”
jawab Nyonya Salyo mendahului suaminya. “Saya sendiri yang memberikan pil-pil
itu kepada Mbok Rah.”
“Dokter
Umar Chattab pulang dengan tidak mengubah ketetapannya. Hanya saja ia berpesan,
agar supaya waktu menelan pil si sakit diawasi sungguh-sungguh”.
D. Berdasarkan urutan waktu cerpen
Mbah Danu
menggunakan alur maju
karena ceritanya disampaikan secara runtut dari awal hingga akhir cerita
(Terdapat tahapan-tahapan alurnya) terdapat pada satuan peristiwa nomor
1,2,3,4,5………36.
E. Berdasarkan cara pengarang
mengakhiri cerpen Mbah Danu
Menggunakan plot
tertutup, karena pembaca tidak bisa mengembangkan jalan cerita dari cerpen Mbah
Danu.
Terdapat pada satuan peristiwa
nomor 36
“Hawa
di dalam kamar itu pengap, tambah menyesak dada oleh asap kemenyan. Mr. Salyo
membuka jendela lebar-lebar, sehingga sinar matahari pagi masuk dengan
gelombang besar. Suatu sosok tubuh muncul di ambang pintu, Mbah Danu. Matanya
membara. Mr. Salyo merasa tengkuknya dingin. Ia menghela napas panjang dan melemparkan
pandang terakhir kepada bale-bale tempat semalam jenazah terbaring. Dengan
sangat tiba-tiba ia terpekik dan telunjuknya diacungkan ke sudut kamar. Matanya
terbelalak lebar-lebar. Nyonya Salyo dan Mbah Danu menengok. Dan juga mereka
melihat pil kinine membungkit di lantai di bawah bale-bale Mbok Rah.”
Dalam kutipan diatas jelas sekali jalan
cerita yang dibuat oleh pengarang sudah terga,bar secara jelas yaitu Mbok Rah
meninggal dunia dan disebabkan karena tidak meminum obat yang diberikan Dokter
Umar Chattab tetapi malah disimpan di bale-bale tempat tidur Mbok Rah.
F. Watak, Sikap dan Keadaan Para Tokoh
1. Mbah
Danu
Angkuh, keras, tetapi
penuh kasih sayang. Watak Mbah Danu yang angkuh di paparkan langsung oleh
pengarang sendiri, melalui kutipan berikut ini
“…Jalannya tegak seperti seorang
mahasani yang angkuh”.
Namun
di balik ke angkuhan nya, Mbah Danu mempunyai kasih sayang yang di buktikan
oleh tingkah laku Mbah Danu kepada Nah, pada kalimat
“... Mbah Danu lebih jauh sambil
membaringkan dan menyelimuti Nah dengan penuh kasih sayang”.
2. Mr Salyo
Berpikiran maju,
modern,dan pintar. Mr salyo tidak percaya pada pengobatan Mbah danu yang penuh unsur mistis. Mr Salyo lebih
percaya pada pengobatan dokter yang lebih modern, yang tidak membahayakan.
Semua ini di buktikan melalui perkataan dan tingkah laku Mr salyo kepada Mbah
Danu dan istrinya.
“…Mr Salyo masuk ke kamar dari jalan
jalan ke tepi pantai, Dengan keras Mbah Danu di perintahkannya keluar dari
kamar ...”.
Kemudian Mr salyo memarahi istrinya
“Engkau tahu bukan bahwa pijatan itu
bisa merusak rahimmu?”.
3. Nyonya
Salyo
Baik, patuh, dan hormat
kepada suami. Nyonya Salyo merawat Mbok Rah yang sedang sakit. Dibuktikan oleh
pernyataannya sendiri
“…Saya sendiri yang memberikan pil-pil
itu kepada Mbak Rah”.
4. Pak
Jaksa
Teguh pendirian, masih
percaya tahayul. Dibuktikan pada kalimat
“…Tanpa pikir panjang
segera menyuruh panggil Mbah Danu …”.
5. Dokter
Umar Chattab
Baik dan perhatian,
dibuktikan pada kalimat
“ Kininenya sudah tuan
berikan sebagai yang saya tetapka?”
6. Mbok
Rah
Egois, pemikirannya
tidak maju. Mbok Rah lebih percaya pada dukun daripada seorang dokter, sebabnya
Mbok Rah tidak meminum obat pil yang diberikan kepada Mbok Rah. Tetapi malah
disimpan di bawah tempat tidur Mbok Rah.
7. Si
Nah
Pasrah, dibuktikan oleh
perilaku Nah yang pasrah dihantam sapu lidi oleh Mbah Danu.
G. Cara yang dilakukan pengarang untuk
melukiskan keadaan tokoh-tokoh dalam cerpen Mbah Danu
yaitu dengan cara
analitik. Karena watak, sikap dan
keadaan tokoh-tokohnya dijelaskan secara langsung oleh pengarang. Ditunjukan
pada kalimat
“Wajahnya kasar-kasar seperti tengkorak, kulitnya liat seperti
belulang, pipinya selalu menonjol oleh susur tembakau yang ada dalam mulutnya,
jalannya tegak seperti maharani yang angkuh …”.
Dalam kutipan tersebut jelas sekali
bahwa pengarang dalam melukiskan tokoh Mbah Danu dilakukan secara langsung.
Artinya langsung dilukiskan bagaimana keadaan fisik, sikap, atau watak dari
tokoh Mbah Danu.
Keadaan tokoh si Nah juga dilukiskan
dengan cara analitik, yaitu pengarang menjelaskan secara langsung tokoh si Nah
seperti pada kalimat
“Si Nah, gadis pelayan Pak Jaksa
(pasien) telah sebulan sakit demam. Keadaanya makin parah. Matanya kelihatan
putihnya saja, mulutnya berbuih dan Ia
mengeluarkan bunyi-bunyi binatang , kadang-kadang meringkik seperti kuda,
kadang-kadang mengalak, mengeong…”
Keadaan tokoh Pak Jaksa
dan Bu Jaksa dengan Mr Salyo dan Nyonya Salyo dilakukan dengan cara melukiskan
pikiran dan perasaan tokoh. Seperti pada kalimat
“Penyankit Mbok Rah makin lama makin
parah. Pak Jaksa Bu Jaksa dan tetangga-tetangga dekat, tahu benar apa sebabnya.
Kualat Mbah Danu! Dan mereka mendesak, supaya Mbah Danu dipanggil. Tetapi
sebagai jawaban, Mr Salyo memanggil dokter Umar Chattab. Soal ini menjadi
perkara kehormatan baginya, dan hubungan mertua dengan menantu menjadi tegang.
Nyonya salyo dengan susah payah bisa tetap tinggal netral, tetapi sebagaimana
juga didalam politik Ia dipandang dengan marah oleh kedua pihak yang
bertentangan. Namun ia tetap mempertahankan politik yang bebas pasif itu”.
Dalam kutipan tersebut
jelas sekali bahwa Pak Jaksa dan Bu Jaksa mengira bahwa Mbok Rah sakit akibat
kualat dari Mbah Danu, sedangkan Mr Salyo bersikeras untuk memanggil dokter,
dan Nyonya Salyo dihadapkan pada dua putusan orangtuanya atau suaminya, tapi
Nyonya Salyo bersikap netral walau dalam hatinya cenderung mendukung
orangtuanya.
H. Titik Kisah
Pada orang ketiga,
sudut pandang serba tahu. Karena pada cerpen Mbah Danu pengarang memakai kata
ganti nama orang, dan pengarang juga tidak terlibat dalam peristiwa cerpen
tersebut. Sudut pandang serba tahu, karena pengarang bertindak serba tahu
mengenai watak,sikap, dan keadaan para tokohnya.
Ditunjukan pada kalimat “Wajahnya
kasar-kasar seperti tengkorang, kulitnya liat seperti belulang, pipinya selalu
menonjol oleh susr tembakau yang ada dalam mulutnya, jalannya tegak seperti
orang maharani yang angkuh…”
Dalam kutipan tersebut jelas sekali
pengarang bertindak sebagai seorang yang serba tahu akan watak, sikap, dan
keadaan tokoh Mbah Danu yang mempunyai sikap yang angkuh . dan pada kutipan
“Si Nah, gadis pelayan pada keluarga Pak
Jasksa (pensiun) telah sebulan sakit demam. Keadaannya makin lama makin parah.
Matanya kelihatan putihnya saja, mulutnya berbuih…”.
Jelas sekali pada
kutipan tersebut menggunakan orang ketiga, sudut pandang serba tahu karena
pengarang memakai kata ganti nama orang seperti “Si Nah”, “Pak Jaksa”. Dan
pengarang seakan-akan mengetahui pasti mengenai keadaan Si Nah.
I.
Gaya
Pengarang menggunakan
gaya dengan cara mengungkapkan masalah yang ditampilkannya. Pada saat tahap
klimaks pengarang mengungkapkan masalah pada saat Mbah Danu tidak diizinkan
menginjak kakinya di rumah Pak Jaksa dan saat Mbok Rah mati, tetangga-tetanggantya
mengira bahwa tulah atau kualat Mbah Danu yang mengakibatkan Mbok Rah mati.
Dan pilihan kata dari
pengarang menggunakan beberapa gaya bahasa, yaitu:
1. Wajahnya
kasar-kasar seperti tengkorak, kata tersebut termasuk gaya bahasa metafora.
2. Kulitnya
liat seperti belulang, kata tersebut termasuk gaya bahasa metafora.
3. Jalannya
tegak seperti seorang maharani yang angkuh, kata tersebut termasuk gaya
metafora.
4. Kadang-kadang
meringkik seperti kuda, kata tersebut termasuk gaya hiperbola.
5. Nah
akan menjelma seperti macan gadungan, kata tersebut termasuk gaya bahasa
metafora.
6. Nah
tengah mengeong-ngeong seperti kucing kasmaran, kata tersebut termasuk gaya
bahasa metafora.
7. Nah
mengigau dengan mata tertutup, buih di mulutnya meleleh ke bawah membasahi bantalnya
yang kumal seperti tempat duduk Jeep Militer yang sudah tua, kata tersebut
termasuk gaya bahasa metafora dan gaya bahasa metonimia.
8. Wajahnya
pucat seperti kain mori, kata tersebut termasuk gaya bahasa metafora.
9. Napas
si sakit seperti ububan pandai besi bunyinya, kata tersebut termasuk gaya
bahasa metafora.
10. Ia
memeberi resep kinine, yang pada masa itu satu-satunya obat yang mujarab untuk
malaria, termasuk gaya bahasa metonimia.
11. Kita
telah berbuat sebaik mungkin, termasuk gaya bahasa eufimisme.
J.
Abstrak
Terkenalah
seorang dukun yang dapat menyembuhkan orang sakit dengan cara ghaib. Suatu hari
Si Nah gadis pelayan Pak Jaksa jatuh sakit. Kemudian Pak Jaksa memanggil Mbah
Danu, dan Mbah Danu pun datang sesuai panggilan Pak Jaksa dengan membawa koper
antik. Ketika mengobati Nah, Mbah Danu memukulkan sapu lidi kepada Nah sebagai
media pengobatannya. Mbah Danu menginjak-injak tubuh Nah dan membuka seluruh
pakaian Nah, dan akhirnya Nah sembuh berkat Mbah Danu. Mr.Salyo dan Ny.Salyo
datang mengunjungi keluarga Pak Jaksa. Tiba-tiba Ny.Salyo jatuh sakit, Mbah
danu datang sesuai panggilan Bu Jaksa. Mbah Danu memijit-mijit perut Ny.Salyo,
ketika Mr. Salyo datang segeralah Mbah Danu diusir karena tidak suka melihat
perlakuannya kepada Ny.Salyo yang dianggap dapat merusak rahimnya, kemudian Mr.
Salyo langsung memarahi Ny.Salyo. Pelayan Pak Jaksa Mbok Rah sakit keras
kemudian Mr.Salyo memanggil Dokter Umar Chattab. Dokter Umar Chattab
mendiagnosis bahwa Mbor Rah terkena penyakit malaria dan memberikan Mbok Rah
obat pil kinine. Keadaan Mbok Rah memburuk dan akhirnya ia mati. Hawa di dalam
kamar pengap dan penuh sesak asap kemenyan, Mr.Salyo masuk ke dalam kamar Mbok
Rah dan kemudian melihat pil yang membukit dibawah bale-bale kamar Mbok Rah.
K. Orientasi
Wajahnya kasar-kasar
seperti tengkorak, kulitnya liat seperti belulang, pipinya selalu menonjol oleh
susur tembakau yang ada dalam mulutnya, jalannya tegak seperti seorang maharani
yang angkuh. Di Rembang di sekitar tahun tiga puluhan ia lebih terkenal
daripada pendeta Osborn pada pertengahan tahun 1954 di Jakarta karena
prestasinya menyembuhkan orang-orang sakit secara gaib. Di tinjau dari sudut
tertentu cara pengobatan Mbah Danu adalah rasional. Titik pangkal nya adalah
suatu anggapan yang logis. Mbah Danu menegaskan, bahwa orang sakit
itu,’’didiami” oleh roh-roh jahat; karena itu cara satu- satunya untuk
menyembahkan adalah dengan menghalaukan makhluk yang merugikan kesehatan itu.
L. Komplikasi
Wajahnya
kasar-kasar seperti tengkorak, kulitnya liat seperti belulalang, pipinya selalu
menonjol oleh susur tembakau yang ada
dlalam mulutnya, jalannya tegak seperti seorang maharani yang angkuh. Di
Rembang di sekitar tahun tigah puluhan ia lebih terkenal daripada pendeta
Osborn pada pertengahan tahun 1954 di Jakarta karena prestasinya menyembuhkan
orang-orang sakit secara ghaib. Ditinjau dari sudut tertentu cara pengobatan
Mbah Danu adalah rasional. Titik pangkalnya adalah suatu anggapan yang logis.
Mbah Danu menegaskan, bahwa orang sakit itu “didiami” oleh roh-roh jahat;
karena itu cara satu-satunya untuk menyembuhkan adalah dengan menghalaukan
makhluk yang merugikan kesehatan itu. Si Nah, pelayan pada keluarga Pak Jaksa
(pension) telah sebulan sakit demam. Keadaannya makin lama makin payah. Matanya
kelihatan putihnya saja, mulutnya berbuih dan ia mengeluarkan bunyi-bunyi
binatang, kadang-kadang meringik seperti kuda, kadang-kadang menyalak,
mengeong, berkaok-kaok, dan kalau sudah mengaum, anak-anak dan perempuan
percaya, bahwa satu saat kemudian Nah akan menjelma menjadi macan gadungan. Menurut
kabar-kabar yang cepatnya tersiar hampir seperti bertita radio, Mbah Danu
sedang turne. Routenya adalah Lasem, Pamotan, Jatirogo, Bojonegoro, Tuban,
Padangan, Cepu, Blora, dan kembali ke Rembang. Kini ia disinyalir sudah ada di Blora, jadi sudah hampir pulang.
Dan benar, ketika Nah tengah mengeong-ngeong seperti kucing kasmaran, Mbah Danu
datang membawa koper besi yang sama antiknya dengan yang punya. Dia tembusi badan
Nah, dengan pandang membara sambil mengelilingkan susur besar di dalam
mulutnya. Nah, mengigau dengan mata tertutup, buih di mulutnya meleleh ke bawah
membasahi bantalnya yang kumal seperti tempat duduk jeep militer yang sudah
tua. Wajahnya pucat seperti kain mori. “ambilkan sapu lidi!” perintah Mbah Danu
dengan sikap Srikandi wayang orang. Kemudian ia mencengkeram lengan Nah dan
menyeretnya dari tikar ke lantai. Sapu lidi
datang. Ukurannya istimewa besar, karena Pak Jaksa mempunyai 60 pohon
kelapa di pekarangannya. Mbah Danu memegang sapu lidi itu pada ujungnya yang
lunak, kemudian bongkoknya yang garis tengahnya kira-kira 10 cm itu dia ayunkan
ke atas dan di pukulkan sekuat tenagaa ke pantat Nah yang terbaring miring.
Segenap hadirin melotot matanya dan
megar kupingnya melihat dan mendengar pukulan dahsyat itu. “Ngeoooong! Keluar
dari mulut Nah mendirikan bulu-bulu di kulit penonton.“Mampus engkau sekarang!
Seru Mbah Danu bengis dan spu lidi terus-menerus menghantam pantat Nah dengan
irama rhumba. Nah tidak mengeong lagi sekarang, melainkan mengaum seperti singa
sirkus yang marah. Sebagian hadirin mau lari.“Minggat ayo minggat! Teriak Mbah
Danu dengan amat murka dan dengan tendangan jitu Nah ditengkurapkannya.
Kemudian deraannya menghujam pula pada pantat Nah yang kini sadar, bahwa ia
manusia Nah, bukan kucing, anjing, kuda atau singa.“Aduh biyuuuuuung! Aduh
biyuuuuuuuung!!”tangisnya menggaung..“Minggat! Minggat! Minggat!!” suara Mbah
Danu menggelora sampai tetangga-tetangga dan pelintas-pelintas mengalir masuk
ke rumah itu menyelidiki sebab-sebab suara ngeri yang mereka dengar.“Aduuuuuh!
Aduh, aduh, aduuuuh!” pekik Nah seperti manusia biasa.“Minggat! Minggat! Ayo
minggat!!” jerit Mbah Danu senyaring-nyaringnya sambil memukul dengan tangan
kanan dan menggemgam susur di tangan kiri. Air ludahnya memercik merah ke
lantai dan badan Nah dalam setengah lingkaran yang radiusnya ½ meter.“Salah
hamba apa kok disuruh minggat dan dihajar?” tanya Nah sambil menangis dan ia
mencoba merangkak.Sikap Mbah Danu sekaligus berubah.“Aku bukannya berbicara
kepadamu, Nah,” katanya dengan suara mineur yang lembut. “Aku mengusir setan-setan di dalam badanmu.”Sebagai
pengeras perkataan yang terakhir, ia tegak sekali lagi serta memukulkan sapu
lidi itu sedemikian kerasnya ke badan Nah, sehingga si sakit rebah ke lantai
dan mengerang. Peluhnya bercucuran dan menguyupkan pakaiannya.“Ha! Hampir modar engkau sekarang!” seru Mbah Danu dengan
ganas sambil melangkah maju dan menginjak tubuh Nah dengan kedua kakinya.
Selama lima menit ia mondar-mandir di atas badan Nah sampai napas si sakit
seperti ububan pandai besi bunyinya. Kedua lengannya diacung-acungkan untuk
mempertahankan keseimbangan. Gerak-geriknya persis seperti Batari Durga yang
menari di atas mayat manusia. Setelah sudah, ia melentangkan badan Nah yang
keringatnya membuat lantai mengkilat basah dan mukanya kini merah padam. Mbah
Danu berdiri dan memberi isyarat supaya para penonton yang tak berkepentingan
mengundurkan diri. Pintu ditutup dan ia kembali kepada pasiennya. Dengan
gerakan-gerakan tangkas pakaian si sakit dibukanya dan kemudian seperti orang
kegila-gilaan ia meremas-remas seluruh badan Nah, sambil menggelitik si sakit
pada tempat-tempat yang penuh rasa geli. Dan mula-mula Nah menggelepar-gelepar,
akhirnya kegelian seperti perawan yang sehat. Seperempat jam Mbah danu
meraba-raba tubuh pasiennya, kemudian ia melepaskan dan tegak pada
lututnya.“Setan-setan sudah lari dari badanmu, Nah”katanya tenang. “Engkau
telah sembuh.” Dan di hadapan mata hadirin, Nah yang tadi sudah seperti
setengah mati duduk bersandar pada dinding dan tersenyum seperti orang bangun
tidur.“Tidurlah saja dulu sampai besok,” kata Mbah Danu lebih jauh sambil
membaringkan dan menyelimuti Nah dengan penuh kasih sayang. Sebentar ia
memijit-mijit kepala Nah kemudian memercikan ludah sedikit dari mulutnya pada
dahi si sakit. Setelah itu ia berdiri dan keluar untuk meminumi kopinya. Prabawa
Mbah Danu di rumah Pak Jaksa yang jadi sebagian prabawannya di daerah yang
terentang dari Kudus sampai Tuban, dari Bonang sampai ke Randublatung,
mengalami tantangan, ketika Mr.Salyo Kunto, salah seorang menantu Pak Jaksa,
bersama istrinya mengunjungi mertuanya. Beberapa hari sesudah kedatangannya,
Nyonya Salyo sakit kepala dan pegal-pegal tubuhnya. Bu Jaksa, sesuai dengan
tradisi, segera menyuruh panggil Mbah Danu.“O, ada sedikit angin jahat
bersarang di dalam, Raden Ayu,” kata Mbah Danu setelah mendengarkan
gejala-gejala penyakit dari mulut Nyonya Salyo sendiri. “Coba buka baju saja
akan saya usir.” Dan Mbah Danu mulai berpraktek. Pertama kali ibu jarinya
kedua-duanya ditekankan ke dalam daging perut Nyonya Salyo, sehingga terbenam
nama sekali dan si pasien mencetuskan bunyi yang sukar dilukiskan. Kemudian
perut Nyonya Salyo ditekannya dengan kedua telapak tangannya sehingga angin
keluar dari bawah dengan bunyi meletup. Setelah itu, punggung dan tengkuk
mendapat giliran, dan dengan lega Nyonya Salyo bersendawa. Kemudian Mbah Danu
melakukan kombinasi kedua pijetan itu, sehingga angin-angin berlomba-lomba
keluar dari atas dan dari bawah dengan berletusan. Justru ketika itu Mr.Salyo
masuk ke kamar dari jalan-jalan ke tepi pantai. Dengan keras Mbah Danu
diperintahkannya keluar dari kamar seperti Mbah Danu mengusir setan-setan dari
tubuh-tubuh orang sakit. Kemudian istrinya dimarahinya “Engkau tahu bukan,
bahwa pijetan itu bisa merusakan rahimmu?!” Sebagai akibat insiden itu, Mbah
Danu tak diizinkan menginjak lantai rumah itu kalau menantu akademikus Pak
Jaksa itu datang. Suatu kekalahan bagi Mbah Danu. Untung hal itu terjadi paling
kerap hanya dua kali dalam setahun. Pada waktu-waktu lainnya kedaulatan Mbah
Danu tetap utuh. Clash ke-2 antara Mbah Danu dan Mr. Salyo, meskipun tak
langsung berhadap-hadapan, terjadi ketika Mbok Rah, pelayan Pak Jaksa yang
setengah umur, sakit keras, justru ketika menantu Pak Jaksa yang berpendidikan
tinggi itu berkunjung ke Rembang, Pak Jaksa dan Bu Jaksa tanpa pikir panjang
segera menyuruh Mbah Danu ketika Mbok Rah sudah mulai mengigau sedangkan Mr.
Salyo dengan penuh pertimbangan meminta datang Dokter Umar Chattab. Sangat
kebetulan Dokter Umar Chattab lebih awal datangnya daripada Mbah Danu yang
tidak punya mobil. Sehingga yang beraksi tangan di stetoskop. Dokter Umar,
bukan tangan dan air ludah Mbah Danu.“Malaria,” diagnose Dokter Umar Chattab di
kamar Mbok Rah yang gelap. Ia memberi resep kinine, yang pada masa itu
satu-satunya obat yang mujarab untuk malaria. Setelah memberi petunjuk-petunjuk
lain tentang makan dan rawatan si sakit, Pak Dokter pulang. Penyakit Mbok Rah
semakin lama makin keras. Pak Jaksa dan Bu Jaksa dan tetangga-tetangga yang
dekat, tahu benar apa sebabnya. Kualat Mbah Danu! Dan mereka mendesak, agar
supaya Mbah Danu dipanggil. Tetapi sebagai jawaban, Mr. Salyo memanggil Dokter
Umar Chattab. Soal ini jadi perkara kehormatan baginya, dan perhubungan antara
mertua dengan menantu jadi tegang. Nyonya Salyo dengan susah payah bisa tetap
tinggal netral, tetapi, sebagaimana juga di dalam politik ia dipandang dengan
marah oleh kedua pihak yang bertentangan. Namun ia tetap mempertahankan politik
bebas yang pasif itu.
M.
Evaluasi
Dokter Umar Chattab heran. “Kininenya sudah Tuan
berikan sebagai yang saya tetapkan?”tanyanya.”ya,” jawab Nyonya Salyo
mendahului suaminya. Saya sendiri yang memberikan pil-pil itu kepada Mbok Rah.
“Dokter Umar Chattab pulang dengan tidak mengubah ketetapannya. Hanya saja ia
berpesan, agar supaya waktu menelan pil si sakit diawasi sungguh-sungguh.
Kaeadaan Mbok Rah makin lam makin buruk dan malamnya lagi ia mati. Perang
dingin kini mencair jadi gugatan-gugatan lisan yang pedas meskipun tak
ditujukan secara langsung. Dengan tak dipanggil, Mbah Danu datang sendiri.
Mr.Salyo mengundurkan diri ke dalam kamar tamu. Asbaknya penuh dengan punting
sigaret.”kita telah berbuat sebaik mungkin,”kata Nyonya Salyo menghibur suaminya.
“Mengapa Jeng, mengapa ia meninggal?! Seru Mr.Salyo dengan gairah sambil
memeluk bahu istrinya yang tidak menjawab.”kita tak bisa percaya kepada
nonsense itu bukan!”katanya lagi.”Innali’llahi wa ina inna illahi raji’un,”kata
Nyonya Salyo.
N. Resolusi
Ketika
fajar menyingsing, persiapan-persiapan untuk penguburan dimulai. Pada jam 7
orang-orang masuk ke kamar jenazah dan mengangkatnya ke luar. Mr.Salyo dan
Nyonya ikut menyaksikan pengambilan jenazah dari dalam kamar tempat Ia dan
Dokter Umar Chattab menderita kekalahan terhadap mertuanya dan Mbah Danu.
Nyonya Salyo yang mendampingi suami di kamar itu di dalam hati kecilnya
cenderung kepada ayah bundanya, tetapi harus merasa solider dengan kekecewaan
suaminya. Hawa di dalam kamar itu pengap, tambah menyesak dada oleh asap
kemenyan Mr.Salyo membuka jendela lebar-lebar, sehingga sinar matahari pagi
masuk dengan gelombang besar. Suatu sosok tubuh muncul di ambang pintu, Mbah
Danu. Matanya membara, Mr.Salyo merasa tengkuknya dingin. Ia menghela nafas
panjang dan melemparkan pandang terakhir kepada bale-bale tempat semalam
jenazah terbaring. Denagan sangat tiba-tiba ia terpekik dan telunjuknya
diacungkannya ke sudut kamar. Matanya terbelalak lebar-lebar. Nyonya Salyo dan
Mbah Danu menengok, dan mereka juga melihat pil kinine membukit dilantai di
bawah bale-bale Mbok Rah.
O. Coda
Hubungan teks sastra
masyarakat berkaitan erat antar teks sastra dengan kenyataan. Di dlam karya
sastra terdapat nilai budaya sebagai cerminan dari masyarakat. Dalam cerita
“Mbah Danu”, terlihat budaya zaman dahulu
yang masih percaya dengan hal-hal yang berbau mistik dan bertolak
belakang dengan kenyataan yang terjadi pada sekarang ini. Yaitu percaya dengan
dukun, tabib, nonsense, dan sebagainya, dalam kali ini Mbah Danu. Memasuki
zaman yang telah modern, seseorang yang berpendidikan tinggi memasuki wilayah
di mana masyarakatnya masih mempercayai hal-hal yang berbau mistik. Dia mulai
merubah pola pikir masyarakat setempat dengan pola pikirnya, awalnya masyarakat
tidak setuju dan menolaknya. Masyarakat setempat masih percaya dengan
keyakinannya, Mbah Danu adalah dukun sakti penyembuh orang sakit. Setelah jatuh
seorang korban akibat tidak percaya dengan obat yang dibawa dokter, barulah
masyarakat setempat mengakui dan percaya dengan obat sebagai penyembuh orang
sakit dan dokter sebagai sarannya.
P. Pembayangan
Prabawa Mbah Danu di
rumah Pak Jaksa mengalami tantangan ketika menantu Pak Jaksa yaitu Mr.Salyo
datang mengunjungi rumahnya. Nyonya Salyo sakit kemudian Mbah Danu datang untuk
mengobatinya dengan melakukan kombinasi pijatan yang berbahaya. Dan Mr.Salyo
datang dan memarahi Mbah Danu kemudian mengusirnya.
Dari penjelasan diatas
jelas sekali ada pembayangan bahwa sudah diprediksikan prabawa Mbah Danu
mengalami hambatan ketika Mr.Salyo datang ke rumah Pak Jaksa. Hingga Nyonya
Salyo jatuh sakit dan diobati Mbah Danu dengan pijatan-pijatan yang
membahayakan rahim Nyonya Salyo, dan benar sekali Prabawa Mbah Danu sudah
hilangketika Mr.Salyo datang dan memarahi Mbah Danu bahkan hingga mengusirnya,
dilarang untuk menginjak kembali rumah Pak Jaksa. Pembayangan tersebut dapat
dibuktikan dalam kutipan :
“Prabawa
Mbah Danu di rumah Pak Jaksa yang jadi sebagian prabawannya di daerah yang
terentang dari Kudus sampai Tuban, dari Bonang sampai ke Randublatung,
mengalami tantangan, ketika Mr.Salyo Kunto, salah seorang menantu Pak Jaksa,
bersama istrinya mengunjungi mertuanya. Beberapa hari sesudah kedatangannya,
Nyonya Salyo sakit kepala dan pegal-pegal tubuhnya. Bu Jaksa, sesuai dengan
tradisi, segera menyuruh panggil Mbah Danu.“O, ada sedikit angin jahat
bersarang di dalam, Raden Ayu,” kata Mbah Danu setelah mendengarkan gejala-gejala
penyakit dari mulut Nyonya Salyo sendiri. “Coba buka baju saja akan saya usir.”
Dan Mbah Danu mulai berpraktek. Pertama kali ibu jarinya kedua-duanya
ditekankan ke dalam daging perut Nyonya Salyo, sehingga terbenam nama sekali
dan si pasien mencetuskan bunyi yang sukar dilukiskan. Kemudian perut Nyonya
Salyo ditekannya dengan kedua telapak tangannya sehingga angin keluar dari
bawah dengan bunyi meletup. Setelah itu, punggung dan tengkuk mendapat giliran,
dan dengan lega Nyonya Salyo bersendawa. Kemudian Mbah Danu melakukan kombinasi
kedua pijetan itu, sehingga angin-angin berlomba-lomba keluar dari atas dan
dari bawah dengan berletusan. Justru ketika itu Mr.Salyo masuk ke kamar dari
jalan-jalan ke tepi pantai. Dengan keras Mbah Danu diperintahkannya keluar dari
kamar seperti Mbah Danu mengusir setan-setan dari tubuh-tubuh orang sakit.
Kemudian istrinya dimarahinya “Engkau tahu bukan, bahwa pijetan itu bisa
merusakan rahimmu?!” Sebagai akibat insiden itu, Mbah Danu tak diizinkan
menginjak lantai rumah itu kalau menantu akademikus Pak Jaksa itu datang. Suatu
kekalahan bagi Mbah Danu.
Q. Ciri-Ciri Bahasa Cerpen
1. Memuat
kata-kata sifat untuk mendeskripsikan pelaku, penampilan fisik atau
kepribadiannya
Lunak
“Mbah Danu memegang sapu lidi itu pada ujungnya yang lunak, kemudian bongkoknya
yang garis tengahnya kira-kira 10 cm.
Keras “Dengan
keras Mbah Danu diperintahkannya keluar dari kamar seperti Mbah Danu mengusir
setan dari tubuh orang sakit kemudian istrinya dimarahinya.
Keras “Ketika
Mbok Rah, pelayan Pak Jaksa setengah umur, sakit keras, justru ketika menantu
Pak Jaksa yang berpendidikan itu berkunjung ke Rembang.
Buruk “Keadaan
Mbok Rah makin lama makin buruk dan malamnya lagi Ia meninggal.
Tangkas
“Dengan gerakan-gerakan tangkas pakaian si sakit dibukanya dan kemudian seperti
orang kegila-gilaan ia meremas-remas seluruh badan Nah, sambil menggelitik si
sakit pada tempat-tempat yang penuh rasa geli”.
Ganas
“seru Mbah Danu dengan ganas sambil melangkah maju dan menginjak tubuh Nah
dengan kedua kakinya. Selama lima menit ia mondar-mandir di atas badan Nah
sampai napas si sakit seperti ububan pandai besi bunyinya”.
Gelap
“Malaria,” diagnose Dokter Umar Chattab di kamar Mbok Rah yang gelap. Ia
memberi resep kinine, yang pada masa itu satu-satunya obat yang mujarab untuk
malaria. Setelah memberi petunjuk-petunjuk lain tentang makan dan rawatan si
sakit, Pak Dokter pulang.
2. Memuat
kata-kata keterangan untuk menggambarkan latar (latar waktu, latar tempat,
latar suasana.
3. Memuat
kata kerja yang menunjukkan peristiwa-peristiwa yang dialami para pelaku
- Menyembuhkan
“Pada penderita Osborn pada pertengahan tahun 1945 di Jakarta karena
prestasinya menyembuhkan orang-orang sakit secara ghaib”.
- Memukulkan
“Mbah Danu memukulkan sapu lidi kepada Nah sebagai media pengobatannya”.
- Pukulkan “Kemudian
bongkoknya yang garis tengahnya kira-kira 10 cm dia ayunkan ke atas dan dia
pukulkan sekuat tenaga ke pantat Nah yang terbaring miring”.
- Lari “Setan-setan
sudah lari dari badanmu, Nah”.
- Menginjak “seru Mbah Danu dengan ganas sambil melangkah maju
dan menginjak tubuh Nah dengan kedua kakinya”
- Mengeluarkan “Keadaannya makin lama makin payah. Matanya
kelihatan putihnya saja, mulutnya berbuih dan ia mengeluarkan bunyi-bunyi
binatang, kadang-kadang meringik seperti kuda, kadang-kadang menyalak,
mengeong, berkaok-kaok, dan kalau sudah mengaum, anak-anak dan perempuan
percaya, bahwa satu saat kemudian Nah akan menjelma menjadi macan gadungan”.
- Menelantangkan “Setelah sudah, ia melentangkan badan Nah yang keringatnya
membuat lantai mengkilat basah dan mukanya kini merah padam”.
4. Memuat
kata ganti
Mbah Danu memiliki kata
ganti menjadi ia, dibuktikan dalam kutipan :
“Kini ia disinyalir
sudah ada di Blora, jadi sudah hampir pulang.”
Memuat kata ganti yaitu
Mbah Danu, Nah, Mbok Rah, Mr. Salyo, Nyonya Salyo dan Dokter Umar Chattab.
Dokter Umar Chattab
memiliki kata ganti menjadi Ia, dibuktikan dalam kutipan :
“Ia memberi resep
kinine, yang pada masa itu satu-satunya obat yang mujarab untuk malaria.”
Pak Jaksa dan Bu Jaksa
memiliki kata ganti menjadi mereka, dibuktikan dalam kutipan:
“Pak Jaksa dan Bu Jaksa
dan tetangga-tetangga yang dekat, tahu benar apa sebabnya. Kualat Mbah Danu!
Dan mereka mendesak agar supaya Mbah Danu dipanggil.”
Nyonya Salyo memiliki
kata ganti menjadi Ia, dibuktikan dalam kutipan :
“Nyonya Salyo dengan
susah payah bisa tetap tinggal netral, tetapi, sebagaimana juga di dalam
politik ia di pandang dengan marah oleh kedua pihak yang bertentangan. Namun ia
tetap mempertahankan politik bebas yang pasif itu.”
Dokter Umar Chattab
memiliki kata ganti menjadi saya, dibuktikan dalam kutipan :
“Kininenya sudah Tuan
berikan sebagai yang saya tetapkan? tanyanya.”
Nyonya Salyo memiliki
kata ganti menjadi saya, dibuktikan dalam kutipan :
“Ya, jawab Nyonya Salyo
mendahului suaminya. Saya sendiri yang memberikan pil-pil itu kepada Mbok Rah.”
Dokter Umar Chattab
memiliki kata ganti menjadi Ia,dibuktikan dalam kutipan :
“Dokter Umar Chattab
pulang dengan tidak mengubah ketetapannya. Hanya saja ia terkesan, agar supaya
waktu menelan pil si sakit di awasi sungguh-sungguh.”
Nyonya Salyo dan Mr.
Salyo memiliki kata ganti menjadi kita, dibuktikan dalam kutipan :
“kita telah berbuat
sebaik mungkin.”
Mbok Rah memiliki kata
ganti menjadi ia, dibuktikan dalam kutipan :
“Mengapa jeng? Mengapa
ia meninggal?!.”
Nyonya Salyo dan
Mr.Salyo memiliki kata ganti menjadi kita, dibuktikan dalam kutipan :
“kita tak bisa percaya
kepada nonsense itu bukan! Katanya lagi.”
Mbok Rah memiliki kata
ganti menjadi ia, dibuktikan dalam kutipan :
“Mr. Salyo dan Nyonya
ikut menyaksikan pengambilan jenazah dari dalam kamar tempat ia dan Dokter Umar
Chattab menderita kekalahan terhadap mertuanya dan Mbah Danu.”
‘’Aku bukannya
berbicara kepadamu, Nah,’’ katanya dengan suara miner yang lembu. “Aku mengusir
setan-setan di dalam badanmu”
Sebagai pengeras
perkataan yang terakhir, Ia tegak sekali lagi serta memukulkan sapu lidi itu
sedemikian kerasnya kepada Nah, sehingga si sakit rebah ke lantai dan
mengerang.
“Ha! Hampir modar
engkau sekarang!” seru Mbah Danu dengan ganas sambil melangkah maju dan
menginjak tubuh Nah dengan kedua kakinya. Setelah sudah, ia menelantangkan
badan Nah yang keringatnya membuat lantaiu mengkilat basah dan mukanya kini
merah padam.
Mbah Danu berdiri dan
memberi isyarat supaya para penonton yang tak berkepentingan mengundurkan diri.
Pintu ditutup dan ia kembali kepada pasiennya.
Dengan geraka-gerakan tangkas
pakaian si sakit dibukanya dan kemudian seperti orang kegila-gilaan ia
meremas-remas seluruh badan Nah, sambil menggelitik si sakit pada tempat-tempat
yang penuh rasa geli.
Bagus donk!!
ReplyDelete