ANALISIS CERPEN
Karya Nugroho
Noto Susanto
A.
Satuan Peristiwa Cerpen Vikers Jepang
1. Pada suatu malam yang kuyup dengan
hujan aku pulang dari sebuah rendez-vous. Sepedaku merk
"Philips" buatan Surabaya, keadaannya sudah payah benar. Selain jalannya
bergoyang-goyang karena rodanya tidak lurus, rantainya berbunyi pula, membikin
lagu yang tidak nyaman. Air hujan merayap masuk via leher baju dan merembes ke
dalam via jas hujan "Swan" kwalitet Rp. 90,00 yang tidak waterproof
100%. Dengan sebal aku menyenandungkan lagu "Tik-tik-tik bunyi hujan di
atas genting ..." menirukan adikku dari SR kelas 1.
2.
Kota Jakarta di bilangan Bungur
Besar kalau malam jam 10.00 dan hujan begini, menmbulkan bayangan-bayangan yang
mengecutkan hati seorang laki-laki normal. Karena aku masuk laki-laki normal,
aku berusaha mengatasi bayangan-bayangan seram itu dengan khayalan-khayalan
yang nikmat-nikmat. Memang situasi ibu kota pada tahun 1951 belum seaman tahun
1954, dan jam malam juga masih ada pada jam 01.00.
3. Di dekat emplasemen stasiun Senen,
gelapnya seperti di dalam terowongan kereta api. Suara orang berlacur tidak ada
di dala gerbong-gerbong yang berserakan di atas ril, Penjual sate Madura dan
kueh putu juga semua lenyap. Jalanan sepi seperti kuburan.
4. Tiba-tiba aku kaget seperti di dalam
mimpi. Karena gerak reflex, setang setir goyang, roda-roda kendor tambah oleng
dan rem depan tanpa aku rem, mengerem sendiri. Dengan kutukan jahanam aku
terdiri ke dalam comberan yang dingin. Segala keributan itu hanya karena ada
kucing menyeberangi jalan. Seketika itu juga aku insaf, bahwa hujan agak reda. Lain
daripada itu di kejauhan ada sebuah tiang lampu kelip-kelip melegakan hati yang
gelap dingin seperti suasana. Karena hal-hal yang menyenangkan itu hatiku jadi
besar. Dengan gemas sepeda kukayuh cepat-cepat, meskipun ratapnya tambah tak
karuan.
5. Tapi kegelapan seolah-olah enggan
melepaskan aku. Setiap ada simpang jalan menganga, dingin dalam hatiku
bertambah sejuk. Rumah-rumah di tepi jalan tertutup rapat-rapat dan hitam oleh
ketiadaan cahaya. Aku mengayuh terus cepat-cepat, damba akan lampu jalan.
6. Aku tahu, masih ada satu jalan simpang
lagi sebelum tikungan yang ada lampunya. Jalan
itu sudah dekat. Kira-kira di tempat ada tonggak hitam di tepi jalan.
ya, ada tonggak hitam. Sesungguhnya terlalu besar untuk sebuah tonggak.
Apa tonggak betul ? Tonggak betul ? Tonggak bergerak ?!
Orang. Tangan kanannya ditentangkan ke samping. Dengan sendirinya aku
melambatkan laju sepeda, pedal tak kukayuh lagi. Aku sudah dekat kepadanya. Ia
bertolak pinggang besar.
7. "Stop!" katanya kemudian. "Turun!"
Aku menurut dengan patuh. Tiba-tiba tangannya menodong ke muka, suatu gerakan
yang tak berguna bagiku, karena tanpa senjata itu pun aku tak sanggup melawan
dia, karena tokohnya tokoh seorang Samson. Ia memakai jas hujan militer hijau
tetapi pet yang dipakai seperti pet yang kupakai, model sport Inggris. Sosok
tubuhnya yang ditekankan menutup mata, persis bandit picisan.
8. Karena aku orang normal, jantungku
mempercepat degupnya dan tenggorokanku kering seperti onderdil sepeda yang tak
pernah kena minyak. Bandit picisan itu tak banyak bicara. Ia mendekat
perlahan-lahan, seperti kucing mendekatii tikus. Tangan kirinya maju, membuka
kancing jas hujanku. Tangan kanannya dengan senjata dekat ke perutku. Ia mulai
meraba-raba saku celana. Aku begerak kegelian, karena rabaannya sembarangan.
9. "Awas!" desisnya marah sambil
menyodokkan laras senjatanya ke perutku, yang menyebabkan aku mengeluarkan bunyi
yang tak dapat kutirukan. Setelah aku diam kembali, ia meneruskan pekerjaannya
yang melanggar undang-undang itu. Mau tak mau mataku tertrik kepada senjata
yang di benamkan ke dalam perutku. Bukan revolver, tidk ada silindernya; pistol
jadi. Merk apa ? Aku terus mempelajari pistol itu, tak perduli
dompetku berisi Rp. 12,25 pindah ke sakunya. Karena kami tak jauh benar dari
lampu jalan itu, aku dapat melihat, bahwa senjata itu sebuah "Vickers
Jepang". Apa nama sesungguhnya, aku tak tahu, tapi di Indonesia pistol itu
terkenal dengan nama itu.
10. Setelah selesai menggeledah pakaiannya,
ia menumpahkan perhatiannya kepada arloji tanganku. Karena melihat badanku yang
tak seberapa itu, ia tak peduli tanganku kuangkat atau tidak. Ia
menggenggam tangan kiriku untuk mencopot arlojinya; sayang bannya agak sukar
membukanya kalau dengan tangan satu. Karena itu tangan kanannya ikut maju.
Pistolnya sekali waktu membalik, dan terlihat olehku popornya tidak ada wadah
pelurunya. Kosong melompong seperti teng bensin bocor.
11. Serta merta mulutku sudah mengoceh
lantang dengan cemooh yang tak tersembunyi, "Wah, nodong kok pakai Vickers
Jepang kosong!"
12. Ia terkejut, sampai arlojiku yang sudah
lepas, jatuh ke tanah. Sebentar ia memandangku dengan tak bergerak dan berkata.
Kemudian ia mundur selangkah.
13. "Apa ? Kosong ? Mau rasa, apa
?" aksennya Jawa Tengah.
14. "Mau diisi satu-satu dari atas, apa
? Angel dong ngokangnya!" jawabku, juga pakai aksen Jawa Tengah.
Dengan penuh kepercayaan kepada diri sendiri karena sikapnya yang
ragu-ragu, aku membungkuk dan memungut arlojiku. Ia membiarkan saja.
15. "Kok tahu ini Vickers Jepang?"
tanyanya. Dan aku seperti sudah pernah kenal suara itu.
"Saya
pernah pakai kok!"
"Di
mana"
"Front
MKS."
"Hlo!
Front MKS!"
"Tahun
1947."
"Tahun
1947!"
"Agustus."
"Agustus?!"
"Pernah
ke puring apa?" tanyaku.
16. "Puring?! Gombong
Karanganyar?!" pistolnya sudah turun samasekali. Dan tiba-tiba aku tahu,
siapa dia.
17 "Seksi Bima regu 2! Siapa yang
pernah menangis di belakang pohon kelapa takut ambil steling di muka waktu ada
serbuan?"
"Mas
Nug!!"
"Ya,
saya ini."
18. Ia terpaku di aspal tak bergerak-gerak. Kaget
campur malu rupa-rupanya.
19. "Hla, kamu kok jadi bandit ini
gimana, Dik?" tanyaku.
20. "Ini Mas!" dompetku
dikembalikannya kepadaku. Aku masukkan kembali ke tempatnya dan kemudian arloji
aku pakai. Ia diam saja tak
menjawab apa-apa. memandang gelisah kepadaku, memperhatikan aku menutup jas
hujan kembali. Kemudian sepeda aku dekatkan kepadanya.
"tidak
bawa sepeda, Dik?" ia menggelengkan kepala.
"Goncengkan
saya kalau begitu," kataku dengan lagak komandan.
21. Kami duduk berhadap-hadapan dalam salahsatu
warung di Medan Senen. Palguno waktu clash I kurus dan masih hijau. Ia anggota
reguku. Waktu clash II kami berpisah. Baru sekali ini kami bertemu kembali. Apa
yang baru terjadi sangat mengejutkan, karena Palguno adalah Raden Ngabehi
Palguno, putra kedua seorang pensiunan bupati.
22. Lama ia kupandang. Ia menunduk saja.
Kami makan sate kambing, enak panas pada malam yang dingin. Ia
tergesa-gesa mau pulang saja. Duduknya resah seperti kursinya penuh kutu busuk.
23. "Nggak usah malu kepada saya, Dik. Mari
kita bercakap-cakap panjang lebar seperti di Front MKS. Pantasnya kalau
kawan seperjuangan bertemu bualnya keluar!"
"Tapi
...," ia memandang tak tetap kepadaku.
"Jangan
main tetapi-tetapian, Dik Gun!"
24. Ia minum seteguk besar dari gelas birnya. Lalu
memandang lagi dengan liar kepadaku.
"Saya
...," ia memandang penuh permintaan kepadaku. "Saya ditunggu
istri aya, Mas."
25. Aku tegak di kursi. Gelas yang
sedang aku pegang aku letakkan. Heranku tak kusembunyikan.
"Istri?!"
Di cermin yang digantung di dinding sana aku lihat wajahku penuh dengan
tanda tanya dan mataku melotot seolah-olah melihat Palguno menelan kodok
hidup-hidup.
"Saya
sudah kawin, Mas."
"Hlo-hlo-hlo-hlo!"
"Sudah
hampir dua tahun."
"Dua
tahun?"
26. Ia mengangguk tersenyum sedikit malu.
27. "Siapa? Dari mana? Bagaimana?"
tanyaku seperti tembakan semi otomatik.
"Namanya..."
ia tertegun sebentar, "...Kayatun."
28. Ia berhenti sebentar. Memandang penuh
penyelidikan kepadaku.
"Ia
anak carik desa yang merawat saya waktu luka-luka."
"Hlo,
Dik Gun pernah luka toh?"
"Kesikat
watermantel Mas, di selatan Bantul.
"O."
"Ia
waktu itu pelajar SMP hampir tamat."
"Jadi
seorang war bride to?"
29. Ia jadi kemalu-maluan lagi.
"Perkawinannya
di mana ? Besar-besaran ?"
30. Ia tak segera menjawab. Aku menunggu
dengan sabar sambil minum beberapa teguk lagi.
"Ayah-Ibu
tidak setuju, Mas."
"O,
karena apa?"
"Karena
ia anak desa."
"Hlo!"
"Biarpun
pelajar SMP, tapi di mata mereka tetap anak desa. Merendahkan martabat
keluarga."
"Jadi
bagaimana?"
"Saya
paksakan," ia minum beberapa teguk lagi, merenung. "Hubungan
antara mereka dan saya terputus. Mereka masih bangga akan martabat
mereka. saya juga mengerti, tapi saya tak dapat menginggkari kasih dan
terima kasih."
"Masakan
mereka tak dapat memaafkan?"
31. Lama ia terdiam. Aku minum sambil melirik
kepadanya.
32. "Mereka baru-baru ini berkirim
surat, rupa-rupanya mau menerima saya kembali, tetapi saya belum dapat
melupakan perkataan-perkataan keras yang pernah terluncur."
"Allaa,
jangan begitu keras kepala, Dik Gun. Sama Belanda bisa damai kok sama
ayah-ibu mau ngotot! Kan tidak sewajarnya."
"Akan
saya pikirkan, Mas.Saya sudah terlanjur menempuh jalan sendiri. Sesungguhnya
sejak umur 16 tahun saya telah menempuh jalan sendiri, akar-akar telah tercabut
dari bumi kekeluargaan."
"Lalu
pindah ke Jakarta bagaimana?"
"Setelah
kawin saya pergi sendirian ke Jakarta, meneruskan sekolah. Tapi setelah tamat
SMA, berat Mas. Entah karena saya bukan potongan sarjana atau karena asrama
yang rame. Pendeknya hidup saya kacau, Mas. Uang KUDP tidak cukup untuk di
Jakarta. Mas tahu sendiri."
33. Aku mengangguk-angguk sangat setuju lalu
minum lagi.
"Dalam
pada itu, sang istri minta dijemput."
"Sudah
semestinya." aku mengangguk-angguk lagi seperti gajah.
"Ia
lulus ngetik lalu bekerja."
"Emansipasi
wanita!" aku menyela.
"Saya
sendiri berusaha belajar terus di Fakultet Hukum, meskipun sudahh dua tahun
belum propaedeuse. Di samping itu mencatut kain batik dari Yogya. Tapi
istri saya hamil, lalu tak dapat bekerja terus. Kesukaran keuangan timbul. Lalu
ini keluar lagi," ia menepuk-nepuk pistol di dalam sakunya.
34. "Saya sudah putus asa, Mas." ia
memandang dengan liar kepada jam dinding.
"Saya
mau pulang Mas!"
"Kok
kesusu benar, toh."
35. Ia tak menjawab. Berdiri. Melemparkan
pandang liar lagi kepada jam, kemudian memandang penuh permintaan kepadaku.
"Tadi
pamitnya ke mana?" tanyaku tenang.
"Mengambil
bidan, Mas. Bidannya sudah saya kirim ke rumah. Saya bermaksud mencari tambah
uang untuk membiayai kelahiran bayi," perkataan-perkataannya mengalir keluar.
36. Aku berdiri sekarang.
"Sudah
tua hamilnya?"
"Setiap
saat bisa keluar!"
"Mari!"
kataku sambil mengeluarkan dompet.
37. Rumahnya terletak di gang yang sempit,
becek dan bau. Di muka pintu bambu itu ia berdiri sejurus. Nyala lampu
minyak menyorot keluar. Kami berpandang-pandangan. Dari dalam jelas kedengaran
tangis bayi. Sesaat kemudian kami sudah ada di dalam rumah.
38. Jam 11.00 malam aku minta diri. Aku cuma
sebentar menjenguk istrinya dari pintu karena dipaksa-paksanya. Dengan bangga
ia mendukung putra sulungnya keluar kamar tidur ke ruangan satunya, yang
merangkap jadi kamar tamu, kamar makan dan dapur.
39. "Dik Gun," aku memulai
pidatoku, "Saya ucapkan selamat kepada kamu berdua atas kelahiran
putramu yang pertama. Mudah-mudahan ia tidak akan mengalami kesukaran-kesukaran
angkatan kita sekarang ini."
40. Palguno, Raden Ngabehi Palguno, putra
seorang bangsawan pensiunan bupati, berdiri di tengah-tengah ruangan bbambu
itu, besar perkasa dan bahagia. Bayinya kecil, merah dan cengeng terbaring pada
urat-urat lengan bapaknya yang kukuh.
42. "Sebentar Mas." ia masuk
sebentar, kembali tanpa bayi. Ia berdiri di depanku. Batuk-batuk kecil.
"Mas,
maukah Mas Nug membantu saya seperti waktu di front MKS?"
43. Dan aku teringat waktu seorang prajurit
muda gemetar mengalami perploncoan tembakan di sampingku. Kini ia mengharapkan
lagi bantuan pada saat-saat genting. Dan kesukarannya sekarang lebih besar.
Sebagai orang normal aku merasa bangga, bahwa masih ada orang yang menaruh
kepercayaan sebegitu besar kepadaku.
"Baik,
Dik, baik!" aku mengangguk-angguk lagi dan mengulurkan tangan kananku.
44. Tangan kanannya cepat-cepat dimasukkan ke
dalam saku kanan celananya. Tangan kananku sudah mau kuturunkan lagi, ketika ia
mengeluarkan tangannya itu dan mengacungkannya kepadaku. Di dalam tangan itu
tergenggam Vickers jepang yang sudah tua, karatan dan tak berwadah peluru. Tetapi
sebaliknya dengan tadi, bukan larasnya yang bertujuan kepadaku, melainkan
popornya.
B. Tahapan Alur
1. Tahap
Permulaan (Exposition)
Tahap permulaan atau
pengenalan, biasanya di tandai dengan pengenalan tokoh, reaksi
antar pelaku, penggambaran fisik, dan penggambaran tempat, yang pada cerpen
“Vikers Jepang” terdapat pada satuan peristiwa nomor 1-2
“Pada suatu malam yang kuyup dengan
hujan aku pulang dari sebuah rendez-vous. Sepedaku merk
"Philips" buatan Surabaya, keadaannya sudah payah benar. Selain
jalannya bergoyang-goyang karena rodanya tidak lurus, rantainya berbunyi pula,
membikin lagu yang tidak nyaman. Air hujan merayap masuk via leher baju dan
merembes ke dalam via jas hujan "Swan" kwalitet Rp. 90,00 yang tidak
waterproof 100%. Dengan sebal aku menyenandungkan lagu "Tik-tik-tik bunyi
hujan di atas genting ..." menirukan adikku dari SR kelas 1.”
“Kota
Jakarta di bilangan Bungur Besar kalau malam jam 10.00 dan hujan begini,
menmbulkan bayangan-bayangan yang mengecutkan hati seorang laki-laki normal.
Karena aku masuk laki-laki normal, aku berusaha mengatasi bayangan-bayangan
seram itu dengan khayalan-khayalan yang nikmat-nikmat. Memang situasi ibu
kota pada tahun 1951 belum seaman tahun 1954, dan jam malam juga masih ada pada
jam 01.00.”
Dari kutipan tersebut Kota Jakarta kalau jam 10.00 sangat
berbahaya, tetapi tokoh Aku baru pulang dari sebuah pertemuan pada jam 1.00.
2. Tahap
Pertikaian (Inciting Force dan Ricing Action)
Pada tahap ini, di
tandai dengan awal mula terjadinya konflik. Seperti yang terdapat pada satuan
peristiwa nomor 6-7
“Aku
tahu, masih ada satu jalan simpang lagi sebelum tikungan yang ada lampunya.
Jalan itu sudah dekat. Kira-kira di
tempat ada tonggak hitam di tepi jalan. ya, ada tonggak hitam.
Sesungguhnya terlalu besar untuk sebuah tonggak. Apa tonggak betul ?
Tonggak betul ? Tonggak bergerak ?! Orang. Tangan kanannya
ditentangkan ke samping. Dengan sendirinya aku melambatkan laju sepeda, pedal
tak kukayuh lagi. Aku sudah dekat kepadanya. Ia bertolak pinggang besar.”
“"Stop!"
katanya kemudian. "Turun!" Aku menurut dengan patuh. Tiba-tiba
tangannya menodong ke muka, suatu gerakan yang tak berguna bagiku, karena tanpa
senjata itu pun aku tak sanggup melawan dia, karena tokohnya tokoh seorang
Samson. Ia memakai jas hujan militer hijau tetapi pet yang dipakai seperti pet
yang kupakai, model sport Inggris. Sosok tubuhnya yang ditekankan menutup
mata, persis bandit picisan.”
Dari kutipan di atas Tokoh
Aku ditahan dan ditodong oleh seorang yang berbadan kekar, dan bandit tersebut
menggeledah saku celanaku.
3. Konflik
(Tahap Perumitan)
Pada tahap ini, terjadi
peningkatan konflik dari konflik sebelumnya. Seperti yang terdapat pada satuan
peristiwa nomor 9-10
“"Awas!"
desisnya marah sambil menyodokkan laras senjatanya ke perutku, yang menyebabkan
aku mengeluarkan bunyi yang tak dapat kutirukan. Setelah aku diam kembali, ia
meneruskan pekerjaannya yang melanggar undang-undang itu. Mau tak mau mataku
tertrik kepada senjata yang di benamkan ke dalam perutku. Bukan revolver, tidk
ada silindernya; pistol jadi. Merk apa ? Aku terus mempelajari
pistol itu, tak perduli dompetku berisi Rp. 12,25 pindah ke sakunya. Karena
kami tak jauh benar dari lampu jalan itu, aku dapat melihat, bahwa senjata itu
sebuah "Vickers Jepang". Apa nama sesungguhnya, aku tak tahu, tapi di
Indonesia pistol itu terkenal dengan nama itu.”
“Setelah
selesai menggeledah pakaiannya, ia menumpahkan perhatiannya kepada arloji
tanganku. Karena melihat badanku yang tak seberapa itu, ia tak peduli tanganku
kuangkat atau tidak. Ia menggenggam tangan kiriku untuk mencopot
arlojinya; sayang bannya agak sukar membukanya kalau dengan tangan satu. Karena
itu tangan kanannya ikut maju. Pistolnya sekali waktu membalik, dan terlihat
olehku popornya tidak ada wadah pelurunya. Kosong melompong seperti teng
bensin bocor.”
Dari kutipan tersebut Tokoh Aku tahu bahwa nama pistol itu
adalah “Vikers Jepang” Yang tidak ada
pelurunya.
4. Bagian
Puncak (Klimaks)
Pada tahap ini, biasanya di
tandai dengan ketegangan atau pertikaian yang semakin memuncak atau telah
sampai pada puncaknya. Seperti yang terdapat pada satuan
peristiwa nomor 11-18
“Serta
merta mulutku sudah mengoceh lantang dengan cemooh yang tak tersembunyi,
"Wah, nodong kok pakai Vickers Jepang kosong!"”
“Ia
terkejut, sampai arlojiku yang sudah lepas, jatuh ke tanah. Sebentar ia
memandangku dengan tak bergerak dan berkata. Kemudian ia mundur selangkah.”
“"Apa
? Kosong ? Mau rasa, apa ?" aksennya Jawa Tengah.”
“"Mau
diisi satu-satu dari atas, apa ? Angel dong ngokangnya!" jawabku, juga
pakai aksen Jawa Tengah. Dengan penuh kepercayaan kepada diri sendiri
karena sikapnya yang ragu-ragu, aku membungkuk dan memungut arlojiku. Ia
membiarkan saja.”
“"Kok
tahu ini Vickers Jepang?" tanyanya. Dan aku seperti sudah pernah kenal
suara itu.
"Saya pernah pakai kok!"
"Di mana"
"Front MKS."
"Hlo! Front MKS!"
"Tahun 1947."
"Tahun 1947!"
"Agustus."
"Agustus?!"
"Pernah ke puring apa?"
tanyaku.”
“"Puring?!
Gombong Karanganyar?!" pistolnya sudah turun samasekali. Dan tiba-tiba aku
tahu, siapa dia.”
“"Seksi
Bima regu 2! Siapa yang pernah menangis di belakang pohon kelapa takut ambil
steling di muka waktu ada serbuan?"”
"Mas Nug!!"
"Ya, saya ini."”
“Ia terpaku di aspal tak
bergerak-gerak. Kaget campur malu rupa-rupanya.”
Dari kutipan tersebut Tokoh Aku tahu bahwa bandit itu adalah
temannya waktu di Front MKS, dan bandit itu merasa malu.
5. Tahap
Peleraian (Falling Actiont)
Pada tahap ini, biasanya di
tandai dengan penurunan konflik. Seperti yang terdapat pada
satuan peristiwa nomor 19-21
“"Hla,
kamu kok jadi bandit ini gimana, Dik?" tanyaku.”
“"Ini
Mas!" dompetku dikembalikannya kepadaku. Aku masukkan kembali ke tempatnya
dan kemudian arloji aku pakai. Ia
diam saja tak menjawab apa-apa. memandang gelisah kepadaku, memperhatikan aku
menutup jas hujan kembali. Kemudian sepeda aku dekatkan kepadanya.
"tidak bawa sepeda, Dik?"
ia menggelengkan kepala.
"Goncengkan saya kalau
begitu," kataku dengan lagak komandan.”
“Kami
duduk berhadap-hadapan dalam salahsatu warung di Medan Senen. Palguno waktu
clash I kurus dan masih hijau. Ia anggota reguku. Waktu clash II kami berpisah.
Baru sekali ini kami bertemu kembali. Apa yang baru terjadi sangat mengejutkan,
karena Palguno adalah Raden Ngabehi Palguno, putra kedua seorang pensiunan
bupati.”
Dari kutipan tersebut Tokoh Aku bingung mengapa Palguno
menjadi bandit, karena masalahnya Palguno adalah putra kedua seorang pensiunan
bupati.
6. Tahap
Akhir (Conclusion)
Pada tahap ini,
biasanya di tandai dengan penentuan nasib tokoh dalam cerita. Seperti yang terdapat
pada satuan peristiwa nomor 39-44
“"Dik
Gun," aku memulai pidatoku, "Saya ucapkan selamat kepada kamu berdua atas
kelahiran putramu yang pertama. Mudah-mudahan ia tidak akan mengalami
kesukaran-kesukaran angkatan kita sekarang ini."”
“Palguno,
Raden Ngabehi Palguno, putra seorang bangsawan pensiunan bupati, berdiri di
tengah-tengah ruangan bambu itu, besar perkasa dan bahagia. Bayinya kecil,
merah dan cengeng terbaring pada urat-urat lengan bapaknya yang kukuh.”
“"Sebentar
Mas." ia masuk sebentar, kembali tanpa bayi. Ia berdiri di depanku.
Batuk-batuk kecil.
"Mas,
maukah Mas Nug membantu saya seperti waktu di front MKS?"”
“Dan
aku teringat waktu seorang prajurit muda gemetar mengalami perploncoan tembakan
di sampingku. Kini ia mengharapkan lagi bantuan pada saat-saat genting. Dan
kesukarannya sekarang lebih besar. Sebagai orang normal aku merasa bangga,
bahwa masih ada orang yang menaruh kepercayaan sebegitu besar kepadaku.
"Baik,
Dik, baik!" aku mengangguk-angguk lagi dan mengulurkan tangan kananku.”
Tangan
kanannya cepat-cepat dimasukkan ke dalam saku kanan celananya. Tangan kananku
sudah mau kuturunkan lagi, ketika ia mengeluarkan tangannya itu dan
mengacungkannya kepadaku. Di dalam tangan itu tergenggam Vickers jepang yang
sudah tua, karatan dan tak berwadah peluru. Tetapi sebaliknya dengan tadi,
bukan larasnya yang bertujuan kepadaku, melainkan popornya.”
Setelah bayinya lahir, palguno meminta bantuan kepada Mas
Nug seperti di Front MKS.
C. Jenis Konflik
Cerpen
Vikers Jepang termasuk jenis konflik manusia dengan manusia. Terdapat pada
satuan peristiwa nomor 13-18
“"Apa
? Kosong ? Mau rasa, apa ?" aksennya Jawa Tengah.”
“"Mau
diisi satu-satu dari atas, apa ? Angel dong ngokangnya!" jawabku, juga
pakai aksen Jawa Tengah. Dengan penuh kepercayaan kepada diri sendiri
karena sikapnya yang ragu-ragu, aku membungkuk dan memungut arlojiku. Ia
membiarkan saja.”
“"Kok
tahu ini Vickers Jepang?" tanyanya. Dan aku seperti sudah pernah kenal
suara itu.
"Saya pernah pakai kok!"
"Di mana"
"Front MKS."
"Hlo! Front MKS!"
"Tahun 1947."
"Tahun 1947!"
"Agustus."
"Agustus?!"
"Pernah ke puring apa?"
tanyaku.”
“"Puring?!
Gombong Karanganyar?!" pistolnya sudah turun samasekali. Dan tiba-tiba aku
tahu, siapa dia.”
“"Seksi
Bima regu 2! Siapa yang pernah menangis di belakang pohon kelapa takut ambil
steling di muka waktu ada serbuan?"”
"Mas Nug!!"
"Ya, saya ini."”
“Ia
terpaku di aspal tak bergerak-gerak. Kaget campur malu rupa-rupanya.”
D. Jenis Alur
Menggunakan
alur maju karena ceritanya disampaikan secara runtut dari awal hingga akhir
cerita (Terdapat tahapan-tahapan alurnya) terdapat pada satuan peristiwa nomor
1,2,3,4,5………44.
E. Berdasarkan cara pengarang
mengakhiri cerpen Vikers Jepang
Menggunakan
plot tertutup, karena pembaca tidak bisa mengembangkan jalan cerita dari cerpen
Mbah Danu. Terdapat pada satuan peristiwa nomor 44
“Tangan
kanannya cepat-cepat dimasukkan ke dalam saku kanan celananya. Tangan kananku
sudah mau kuturunkan lagi, ketika ia mengeluarkan tangannya itu dan
mengacungkannya kepadaku. Di dalam tangan itu tergenggam Vickers jepang yang
sudah tua, karatan dan tak berwadah peluru. Tetapi sebaliknya dengan tadi,
bukan larasnya yang bertujuan kepadaku, melainkan popornya.”
Dari
kutipan tersebut bahwa Palguno memberikan pistol tersebut kepada Tokoh Aku.
F. Watak, Sikap dan Keadaan Para Tokoh
1. Mas
Nug/Tokoh Aku
Baik,
dermawan, dan penakut. Semua ini di buktikan melalui perkataan dan tingkah laku
Mas Nug/Tokoh Aku.
“Tiba-tiba aku kaget seperti di
dalam mimpi. Karena gerak reflex, setang setir goyang, roda-roda kendor tambah
oleng dan rem depan tanpa aku rem, mengerem sendiri. Dengan kutukan jahanam aku
terdiri ke dalam comberan yang dingin. Segala keributan itu hanya karena ada
kucing menyeberangi jalan. Seketika itu juga aku insaf, bahwa hujan agak reda. Lain
daripada itu di kejauhan ada sebuah tiang lampu kelip-kelip melegakan hati yang
gelap dingin seperti suasana. Karena hal-hal yang menyenangkan itu hatiku jadi
besar. Dengan gemas sepeda kukayuh cepat-cepat, meskipun ratapnya tambah tak
karuan.”
Aku
berdiri sekarang.
"Sudah tua hamilnya?"
"Setiap saat bisa keluar!"
"Mari!" kataku sambil mengeluarkan
dompet.
2. Palguno
Baik,
mandiri, menjadi bandit karena kebutuhan ekonomi. Dapat dibuktikan pada tingkah
lakunya sendiri.
“Ia
meneruskan pekerjaannya yang melanggar undang-undang”
"Akan
saya pikirkan, Mas.Saya sudah terlanjur menempuh jalan sendiri. Sesungguhnya
sejak umur 16 tahun saya telah menempuh jalan sendiri, akar-akar telah tercabut
dari bumi kekeluargaan."
"Mengambil
bidan, Mas. Bidannya sudah saya kirim ke rumah. Saya bermaksud mencari tambah
uang untuk membiayai kelahiran bayi," perkataan-perkataannya mengalir
keluar.
3. Istri
Palguno
Baik
hati. Dapat dibuktikan pada perkataan Palguno ketika bercakap-cakap dengan Mas
Nug.
“Ia
anak carik desa yang merawat saya waktu luka”
4. Orang
tua Palguno
Jahat
dan memandang sebelah mata. Dapat dibuktikan pada perkataan Palguno ketika
bercakap-cakap dengan Mas Nug.
"Ayah-Ibu
tidak setuju, Mas."
"O, karena apa?"
"Karena ia anak desa."
"Hlo!"
"Biarpun pelajar SMP, tapi di
mata mereka tetap anak desa. Merendahkan martabat keluarga."
G. Cara yang dilakukan pengarang untuk
melukiskan keadaan tokoh-tokoh dalam cerpen Vikers Jepang
Dengan
cara analitik. Karena watak, sikap
dan keadaan tokoh-tokohnya dijelaskan secara langsung oleh pengarang.
Ditunjukan pada kalimat.
Aku
berdiri sekarang.
"Sudah tua hamilnya?"
"Setiap saat bisa keluar!"
"Mari!" kataku sambil
mengeluarkan dompet.
Dalam kutipan tersebut
jelas sekali bahwa pengarang dalam melukiskan tokoh Aku dilakukan secara
langsung. Artinya langsung dilukiskan bagaimana sikap dan watak tokoh yang baik
hati.
"Mereka
baru-baru ini berkirim surat, rupa-rupanya mau menerima saya kembali, tetapi
saya belum dapat melupakan perkataan-perkataan keras yang pernah
terluncur."
"Allaa,
jangan begitu keras kepala, Dik Gun. Sama Belanda bisa damai kok sama
ayah-ibu mau ngotot! Kan tidak sewajarnya."
"Akan
saya pikirkan, Mas.Saya sudah terlanjur menempuh jalan sendiri. Sesungguhnya
sejak umur 16 tahun saya telah menempuh jalan sendiri, akar-akar telah tercabut
dari bumi kekeluargaan."
Dalam kutipan tersebut
jelas sekali bahwa pengarang dalam melukiskan tokoh Palguno dilakukan secara
langsung. Artinya langsung dilukiskan bagaimana keadaan fisik, sikap, atau
watak dari tokoh Palguno.
Keadaan
tokoh Palguno dilukiskan dengan cara analitik, yaitu pengarang menjelaskan
secara langsung tokoh Palguno seperti pada kutipan.
"Setelah kawin saya pergi
sendirian ke Jakarta, meneruskan sekolah. Tapi setelah tamat SMA, berat Mas.
Entah karena saya bukan potongan sarjana atau karena asrama yang rame. Pendeknya
hidup saya kacau, Mas. Uang KUDP tidak cukup untuk di Jakarta. Mas tahu
sendiri."
H. Titik Kisah
Tokoh
Utama, pelaku utama. Karena pada cerpen Vikers Jepang, pengarang menggunakan
tokoh Aku dan pengarang terlibat dalam cerpen tersebut.
Ditunjukan
pada kalimat ”Pada suatu malam yang kuyup dengan
hujan aku pulang dari sebuah rendez-vous. Sepedaku merk
"Philips" buatan Surabaya, keadaannya sudah payah benar. Selain
jalannya bergoyang-goyang karena rodanya tidak lurus, rantainya berbunyi pula,
membikin lagu yang tidak nyaman. Air hujan merayap masuk via leher baju dan
merembes ke dalam via jas hujan "Swan" kwalitet Rp. 90,00 yang tidak
waterproof 100%. Dengan sebal aku menyenandungkan lagu "Tik-tik-tik bunyi
hujan di atas genting ..." menirukan adikku dari SR kelas 1.”
Jelas
sekali pada kutipan tersebut pengarang menjadi tokoh utama dan pengarang
terlibat dalam cerpen tersebut.
I.
Gaya
Cerpen
di atas menggunakan gaya bahasa yang mudah dipahami. Tetapi pembaca harus focus
memahami maksud yang ingin disampaiakan melalui cerpen tersebut.
Kemudian
terdapat gaya bahasa yang digunakan dalam cerpen tersebut seperti pada kutipan
kalimat berikut ini :
1. Karena
tokohnya tokoh seorang Samson. kata tersebut termasuk gaya bahasa hiperbola.
2. Tenggorokanku
kering seperti onderdil sepeda yang tak perna kena minyak. kata tersebut
termasuk gaya bahasa hiperbola.
3. Ia
mendekati perlahan-lahan seperti kucing mendekati tikus. kata tersebut termasuk
gaya bahasa hiperbola.
4. Merembes
ke dalam jas via jas hujan “Swan” kualitas Rp. 90.- yang tidak waterproof 100%.
kata tersebut termasuk gaya bahasa metonimia
5. Duduknya
resah seperti kursinya penuh kutu busuk. kata tersebut termasuk gaya bahasa
hiperbola.
J.
Latar
atau Setting
1. Latar
Waktu
Latar waktu pada cerpen
“Vikers Jepang” terdapat pada satuan peristiwa nomor 1.
“Pada suatu malam yang kuyup dengan
hujan aku pulang dari sebuah rendez-vous. Sepedaku merk
"Philips" buatan Surabaya, keadaannya sudah payah benar. Selain
jalannya bergoyang-goyang karena rodanya tidak lurus, rantainya berbunyi pula,
membikin lagu yang tidak nyaman. Air hujan merayap masuk via leher baju dan
merembes ke dalam via jas hujan "Swan" kwalitet Rp. 90,00 yang tidak
waterproof 100%. Dengan sebal aku menyenandungkan lagu "Tik-tik-tik bunyi
hujan di atas genting ..." menirukan adikku dari SR kelas 1.”
Cuplikan
di atas membuktikan bahwa latar waktunya pada malam hari.
2. Latar
Alam
Latar alam pada cerpen
“Vikers Jepang” terdapat pada satuan peristiwa nomor 5.
“Tapi
kegelapan seolah-olah enggan melepaskan aku. Setiap ada simpang jalan menganga,
dingin dalam hatiku bertambah sejuk. Rumah-rumah di tepi jalan tertutup
rapat-rapat dan hitam oleh ketiadaan cahaya. Aku mengayuh terus cepat-cepat,
damba akan lampu jalan.”
Cuplikan di atas
membuktikan bahwa latar alam terdapat di sebuah jalan.
3. Latar
Ruang
Latar ruang pada cerpen
“Vikers Jepang” terdapat pada satuan peristiwa nomor 38.
“Jam
11.00 malam aku minta diri. Aku cuma sebentar menjenguk istrinya dari pintu
karena dipaksa-paksanya. Dengan bangga ia mendukung putra sulungnya keluar
kamar tidur ke ruangan satunya, yang merangkap jadi kamar tamu, kamar makan dan
dapur.”
Cuplikan
di atas membuktikan bahwa latar ruangnya di rumah.
K. Struktur Cerpen dalam KURTILAS
1. Abstrak
Pada suatu
malam, aku barupulang dari sebuah pertemuan, aku mengayuh sepedahku dengan
kencang karena malam sangat mencengkam, gelap, tidak ada siapa-siapa baik para
pelacur maupun para pedagang. Di perempatan jalan aku di todong oleh bandit
yang bertubuh kekar, bandit itu menggeledah saku celana dan ketika bandit itu
membuka arloji, aku terus mengamati pistol yang sedang dipegang bandit itu,
lama kelamaan aku tahu bahwa pistol itu adalah sebuah Vikers Jepang yang sama
sekali tidak ada pelurunya. Aku bicara
lantang kepada bandit itu “kok nodong pakai vikers jepang kosong!”. Bandit itu
terkejut sehingga ia menjatuhkan arlojinya ke tanah, dan aku langsung membawa
arloji tersebut di bawah. Kami bercakap-cakap, aku mulai mengenalnya, dan
ternyata ia adalah Palguno temanku dahulu di Front MKS. Aku heran mengapa
Palguno menjadi bandit, karena ia adalah putra kedua seorang pensiunan bupati.
Ternyata Palguno menikah dengan orang desa dan orang tuanya tidak setuju karena
istri yang dinikahinya adalah orang desa, Kami mulai bercakap-cakap, dan
ternyata Palguno sedang mencari tambahan uang untuk kelahiran anaknya di rumah.
Aku mulai mengeluarkan dompet ku untuk membantu Palguno, dan mengantarkan
Palguno kerumahnya sekalian silaturahmi. Sesampai dirumahnya terdengarlah
tangisan bayi dari dalam rumah. Palguno meminta bantuan kepadaku dan memberikan
Vikers Jepangnya kepadaku.
2. Orientasi
Pada
suatu malam yang kuyup dengan hujan aku pulang dari sebuah rendez-vous.
Sepedaku merk "Philips" buatan Surabaya, keadaannya sudah payah
benar. Selain jalannya bergoyang-goyang karena rodanya tidak lurus, rantainya
berbunyi pula, membikin lagu yang tidak nyaman. Air hujan merayap masuk via
leher baju dan merembes ke dalam via jas hujan "Swan" kwalitet Rp.
90,00 yang tidak waterproof 100%. Dengan sebal aku menyenandungkan lagu "Tik-tik-tik
bunyi hujan di atas genting ..." menirukan adikku dari SR kelas 1. Kota
Jakarta di bilangan Bungur Besar kalau malam jam 10.00 dan hujan begini,
menmbulkan bayangan-bayangan yang mengecutkan hati seorang laki-laki normal.
Karena aku masuk laki-laki normal, aku berusaha mengatasi bayangan-bayangan
seram itu dengan khayalan-khayalan yang nikmat-nikmat. Memang situasi ibu
kota pada tahun 1951 belum seaman tahun 1954, dan jam malam juga masih ada pada
jam 01.00.
3. Komplikasi
Aku tahu, masih ada satu jalan simpang lagi sebelum tikungan
yang ada lampunya. Jalan itu sudah
dekat. Kira-kira di tempat ada tonggak hitam di tepi jalan. ya, ada
tonggak hitam. Sesungguhnya terlalu besar untuk sebuah tonggak. Apa
tonggak betul ? Tonggak betul ? Tonggak bergerak ?! Orang. Tangan
kanannya ditentangkan ke samping. Dengan sendirinya aku melambatkan laju
sepeda, pedal tak kukayuh lagi. Aku sudah dekat kepadanya. Ia bertolak pinggang
besar. "Stop!" katanya kemudian. "Turun!" Aku menurut
dengan patuh. Tiba-tiba tangannya menodong ke muka, suatu gerakan yang tak
berguna bagiku, karena tanpa senjata itu pun aku tak sanggup melawan dia,
karena tokohnya tokoh seorang Samson. Ia memakai jas hujan militer hijau tetapi
pet yang dipakai seperti pet yang kupakai, model sport Inggris. Sosok
tubuhnya yang ditekankan menutup mata, persis bandit picisan. Karena aku orang
normal, jantungku mempercepat degupnya dan tenggorokanku kering seperti
onderdil sepeda yang tak pernah kena minyak. Bandit picisan itu tak banyak
bicara. Ia mendekat perlahan-lahan, seperti kucing mendekatii tikus. Tangan
kirinya maju, membuka kancing jas hujanku. Tangan kanannya dengan senjata dekat
ke perutku. Ia mulai meraba-raba saku celana. Aku begerak kegelian, karena
rabaannya sembarangan. "Awas!" desisnya marah sambil menyodokkan
laras senjatanya ke perutku, yang menyebabkan aku mengeluarkan bunyi yang tak
dapat kutirukan. Setelah aku diam kembali, ia meneruskan pekerjaannya yang
melanggar undang-undang itu. Mau tak mau mataku tertrik kepada senjata yang di
benamkan ke dalam perutku. Bukan revolver, tidk ada silindernya; pistol jadi.
Merk apa ? Aku terus mempelajari pistol itu, tak perduli dompetku
berisi Rp. 12,25 pindah ke sakunya. Karena kami tak jauh benar dari lampu jalan
itu, aku dapat melihat, bahwa senjata itu sebuah "Vickers Jepang".
Apa nama sesungguhnya, aku tak tahu, tapi di Indonesia pistol itu terkenal
dengan nama itu. Setelah selesai menggeledah pakaiannya, ia menumpahkan
perhatiannya kepada arloji tanganku. Karena melihat badanku yang tak seberapa
itu, ia tak peduli tanganku kuangkat atau tidak. Ia menggenggam tangan
kiriku untuk mencopot arlojinya; sayang bannya agak sukar membukanya kalau
dengan tangan satu. Karena itu tangan kanannya ikut maju. Pistolnya sekali
waktu membalik, dan terlihat olehku popornya tidak ada wadah
pelurunya. Kosong melompong seperti teng bensin bocor. Serta merta mulutku
sudah mengoceh lantang dengan cemooh yang tak tersembunyi, "Wah, nodong
kok pakai Vickers Jepang kosong!" Ia terkejut, sampai arlojiku yang sudah
lepas, jatuh ke tanah. Sebentar ia memandangku dengan tak bergerak dan berkata.
Kemudian ia mundur selangkah. "Apa ? Kosong ? Mau rasa, apa ?"
aksennya Jawa Tengah. "Mau diisi satu-satu dari atas, apa ? Angel dong
ngokangnya!" jawabku, juga pakai aksen Jawa Tengah. Dengan penuh
kepercayaan kepada diri sendiri karena sikapnya yang ragu-ragu, aku membungkuk
dan memungut arlojiku. Ia membiarkan saja. "Kok tahu ini Vickers
Jepang?" tanyanya. Dan aku seperti sudah pernah kenal suara itu.
"Saya
pernah pakai kok!"
"Di
mana"
"Front
MKS."
"Hlo!
Front MKS!"
"Tahun
1947."
"Tahun
1947!"
"Agustus."
"Agustus?!"
"Pernah
ke puring apa?" tanyaku.
"Puring?!
Gombong Karanganyar?!" pistolnya sudah turun samasekali. Dan tiba-tiba aku
tahu, siapa dia.
"Seksi
Bima regu 2! Siapa yang pernah menangis di belakang pohon kelapa takut ambil
steling di muka waktu ada serbuan?"
"Mas
Nug!!"
"Ya,
saya ini."
Ia
terpaku di aspal tak bergerak-gerak. Kaget campur malu rupa-rupanya.
4.
Evaluasi
"Mereka baru-baru ini berkirim surat, rupa-rupanya mau
menerima saya kembali, tetapi saya belum dapat melupakan perkataan-perkataan
keras yang pernah terluncur."
"Allaa,
jangan begitu keras kepala, Dik Gun. Sama Belanda bisa damai kok sama
ayah-ibu mau ngotot! Kan tidak sewajarnya." "Akan saya pikirkan,
Mas.Saya sudah terlanjur menempuh jalan sendiri. Sesungguhnya sejak umur 16
tahun saya telah menempuh jalan sendiri, akar-akar telah tercabut dari bumi
kekeluargaan."
"Lalu
pindah ke Jakarta bagaimana?"
"Setelah
kawin saya pergi sendirian ke Jakarta, meneruskan sekolah. Tapi setelah tamat
SMA, berat Mas. Entah karena saya bukan potongan sarjana atau karena asrama
yang rame. Pendeknya hidup saya kacau, Mas. Uang KUDP tidak cukup untuk di
Jakarta. Mas tahu sendiri."
Aku
mengangguk-angguk sangat setuju lalu minum lagi.
"Dalam
pada itu, sang istri minta dijemput."
"Sudah
semestinya." aku mengangguk-angguk lagi seperti gajah.
"Ia
lulus ngetik lalu bekerja."
"Emansipasi
wanita!" aku menyela.
"Saya
sendiri berusaha belajar terus di Fakultet Hukum, meskipun sudahh dua tahun
belum propaedeuse. Di samping itu mencatut kain batik dari Yogya. Tapi
istri saya hamil, lalu tak dapat bekerja terus. Kesukaran keuangan timbul. Lalu
ini keluar lagi," ia menepuk-nepuk pistol di dalam sakunya.
"Saya
sudah putus asa, Mas." ia memandang dengan liar kepada jam dinding.
"Saya
mau pulang Mas!"
"Kok
kesusu benar, toh."
Ia
tak menjawab. Berdiri. Melemparkan pandang liar lagi kepada jam, kemudian
memandang penuh permintaan kepadaku.
"Tadi
pamitnya ke mana?" tanyaku tenang.
"Mengambil
bidan, Mas. Bidannya sudah saya kirim ke rumah. Saya bermaksud mencari tambah
uang untuk membiayai kelahiran bayi," perkataan-perkataannya mengalir
keluar.
Aku
berdiri sekarang.
"Sudah
tua hamilnya?"
"Setiap
saat bisa keluar!"
"Mari!"
kataku sambil mengeluarkan dompet.
5. Resolusi
Rumahnya terletak di gang yang sempit, becek dan bau. Di
muka pintu bambu itu ia berdiri sejurus. Nyala lampu minyak menyorot
keluar. Kami berpandang-pandangan. Dari dalam jelas kedengaran tangis bayi.
Sesaat kemudian kami sudah ada di dalam rumah. Jam 11.00 malam aku minta diri.
Aku cuma sebentar menjenguk istrinya dari pintu karena dipaksa-paksanya. Dengan
bangga ia mendukung putra sulungnya keluar kamar tidur ke ruangan satunya, yang
merangkap jadi kamar tamu, kamar makan dan dapur. "Dik Gun," aku
memulai pidatoku, "Saya ucapkan selamat kepada kamu berdua atas
kelahiran putramu yang pertama. Mudah-mudahan ia tidak akan mengalami
kesukaran-kesukaran angkatan kita sekarang ini." Palguno, Raden Ngabehi
Palguno, putra seorang bangsawan pensiunan bupati, berdiri di tengah-tengah
ruangan bbambu itu, besar perkasa dan bahagia. Bayinya kecil, merah dan cengeng
terbaring pada urat-urat lengan bapaknya yang kukuh. "Sebentar Mas."
ia masuk sebentar, kembali tanpa bayi. Ia berdiri di depanku. Batuk-batuk
kecil. "Mas, maukah Mas Nug membantu saya seperti waktu di front
MKS?". Dan aku teringat waktu seorang prajurit muda gemetar mengalami
perploncoan tembakan di sampingku. Kini ia mengharapkan lagi bantuan pada
saat-saat genting. Dan kesukarannya sekarang lebih besar. Sebagai orang normal
aku merasa bangga, bahwa masih ada orang yang menaruh kepercayaan sebegitu
besar kepadaku. "Baik, Dik, baik!" aku mengangguk-angguk lagi dan
mengulurkan tangan kananku. Tangan kanannya cepat-cepat dimasukkan ke dalam
saku kanan celananya. Tangan kananku sudah mau kuturunkan lagi, ketika ia
mengeluarkan tangannya itu dan mengacungkannya kepadaku. Di dalam tangan itu
tergenggam Vickers jepang yang sudah tua, karatan dan tak berwadah peluru.
Tetapi sebaliknya dengan tadi, bukan larasnya yang bertujuan kepadaku,
melainkan popornya.
6. Koda
Di dalam cerpen
Vikers Jepang tidak terdapat koda atau tidak terdapat komentar akhir pengarang
terhadap keseluruhan isi cerita.
L.
Ciri-Ciri
Bahasa Cerpen
Menurut
KURTILAS, cerpen memuat beberapa kata, yaitu:
1. Kata
Sifat
Kata
sifat biasanya mendeskripsikan pelaku, penampilan fisik atau kepribadiannya.
Pada cerpen “Vikers Jepang”, kata sifat terdapat pada kutipan tersebut.
“Karena aku orang normal, jantungku mempercepat degupnya dan
tenggorokanku kering seperti onderdil sepeda yang tak pernah kena minyak.”
“Alah, jangan
begitu keras kepala dik Gun! Sama Belanda bisa damai kok sama Ayah-Ibu mau
ngotot! ‘kan tidak sewajarnya”
2. Kata
Keterangan
Kata
keterangan di dalam cerpen, digunakan untuk menggambarkan latar (waktu, tempat,
dan suasana). Pada cerpen “Vikers Jepang” kata tersebut terdapat pada satuan
peristiwa kesatu berikut ini.
“Pada suatu malam yang kuyup dengan hujan aku pulang dari
sebuah rendez-vous. Sepedaku merk "Philips" buatan Surabaya,
keadaannya sudah payah benar. Selain jalannya bergoyang-goyang karena rodanya
tidak lurus, rantainya berbunyi pula, membikin lagu yang tidak nyaman. Air
hujan merayap masuk via leher baju dan merembes ke dalam via jas hujan
"Swan" kwalitet Rp. 90,00 yang tidak waterproof 100%. Dengan sebal
aku menyenandungkan lagu "Tik-tik-tik bunyi hujan di atas genting ..."
menirukan adikku dari SR kelas 1.”
“Kota
Jakarta di bilangan Bungur Besar kalau malam jam 10.00 dan hujan begini, menmbulkan
bayangan-bayangan yang mengecutkan hati seorang laki-laki normal. Karena aku
masuk laki-laki normal, aku berusaha mengatasi bayangan-bayangan seram
itu dengan khayalan-khayalan yang nikmat-nikmat. Memang situasi ibu kota pada
tahun 1951 belum seaman tahun 1954, dan jam malam juga masih ada pada jam
01.00.”
Dari cuplikan di atas,
dapat diambil kesimpulan bahwa cerita “Vikers Jepang” berlangsung pada malam
hari yang sunyi.
3. Kata
Kerja
Kata
kerja pada cerpen digunakan untuk menunjukkan peristiwa-peistiwa yang dialami
para pelaku. Pada cerpen “Vikers Jepang” kata kerja terdapat pada berbagai
satuan peristiwa, seperti berikut ini.
“Serta merta mulutku sudah mengoceh lantang dengan cemooh
yang tak tersembunyi, "Wah, nodong kok pakai Vickers Jepang kosong!"”
“Lama
ia kupandang. Ia menunduk saja. Kami makan sate kambing, enak panas
pada malam yang dingin. Ia tergesa-gesa mau pulang saja. Duduknya resah seperti
kursinya penuh kutu busuk.”
“"Saya
paksakan," ia minum beberapa teguk lagi, merenung. "Hubungan
antara mereka dan saya terputus. Mereka masih bangga akan martabat
mereka. saya juga mengerti, tapi saya tak dapat menginggkari kasih dan
terima kasih."”
Cuplikan di atas memuat
berbagai kata kerja, misalnya mengoceh, menunduk, merenung, dan mengingkari.
4. Kata
Ganti
Cerpen
“Vikers Jepang” memuat dua kata ganti yaitu “Ia” dan “Kami”, seperti pada
satuan peristiwa tersebut.
“Kami
duduk berhadap-hadapan dalam salahsatu warung di Medan Senen. Palguno waktu clash
I kurus dan masih hijau. Ia anggota reguku. Waktu clash II kami berpisah. Baru
sekali ini kami bertemu kembali. Apa yang baru terjadi sangat mengejutkan,
karena Palguno adalah Raden Ngabehi Palguno, putra kedua seorang pensiunan
bupati.”
“Lama
ia kupandang. Ia menunduk saja. Kami makan sate kambing, enak panas
pada malam yang dingin. Ia tergesa-gesa mau pulang saja. Duduknya resah seperti
kursinya penuh kutu busuk.”
5. Memuat
Majas
Cerpen
“Vikers Jepang” memuat majas hiperbola. Seperti pada kutipan tersebut.
“Karena aku orang normal, jantungku mempercepat degupnya dan
tenggorokanku kering seperti onderdil sepeda yang tak pernah kena minyak.”
M.
Pembayangan
Cerpen “LEAK” memuat
pembayangan, berupa tanda ataupun lambang. Sepeti berikut ini.
“Kota
Jakarta di bilangan Bungur Besar kalau malam jam 10.00 dan hujan begini,
menmbulkan bayangan-bayangan yang mengecutkan hati seorang laki-laki normal.
Karena aku masuk laki-laki normal, aku berusaha mengatasi bayangan-bayangan
seram itu dengan khayalan-khayalan yang nikmat-nikmat. Memang situasi ibu
kota pada tahun 1951 belum seaman tahun 1954, dan jam malam juga masih ada pada
jam 01.00.”
“Di
dekat emplasemen stasiun Senen, gelapnya seperti di dalam terowongan kereta
api. Suara orang berlacur tidak ada di dala gerbong-gerbong yang berserakan di
atas ril, Penjual sate Madura dan kueh putu juga semua lenyap. Jalanan sepi
seperti kuburan.”
“Tiba-tiba
aku kaget seperti di dalam mimpi. Karena gerak reflex, setang setir goyang,
roda-roda kendor tambah oleng dan rem depan tanpa aku rem, mengerem sendiri.
Dengan kutukan jahanam aku terdiri ke dalam comberan yang dingin. Segala
keributan itu hanya karena ada kucing menyeberangi jalan. Seketika itu juga aku
insaf, bahwa hujan agak reda. Lain daripada itu di kejauhan ada sebuah tiang
lampu kelip-kelip melegakan hati yang gelap dingin seperti suasana. Karena
hal-hal yang menyenangkan itu hatiku jadi besar. Dengan gemas sepeda kukayuh
cepat-cepat, meskipun ratapnya tambah tak karuan.”
Cuplikan
di atas merupakan pembayangan yang terdapat pada cerpen “Vikers Jepang”. Ada
beberapa tanda berupa “kucing yang menyebrangi jalan” merupakan sebuah
pembayangan atau pertanda bahwa akan ada sesuatu yang terjadi.
N.
Tegangan
(Suspensi)
Ketegangan
pada cerpen Vikers Jepang terdapat dalam kutipan :
“Tapi kegelapan seolah-olah
enggan melepaskan aku. Setiap ada simpang jalan menganga, dingin dalam hatiku
bertambah sejuk. Rumah-rumah di tepi jalan tertutup rapat-rapat dan hitam oleh
ketiadaan cahaya. Aku mengayuh terus cepat-cepat, damba akan lampu jalan.”
O.
Nada (Feeling)
Sikap
pengarang terhadap cerpen Vikers Jepang yang menyajikan masalah perekonomian,
sehingga Palguno menjadi bandit, tetapi disamping itu Palguno bertemu dengan
teman lamanya ketika menodong. Dapat dibuktikan kutipan tersebut.
“"Kok
tahu ini Vickers Jepang?" tanyanya. Dan aku seperti sudah pernah kenal
suara itu.
"Saya pernah pakai kok!"
"Di mana"
"Front MKS."
"Hlo! Front MKS!"
"Tahun 1947."
"Tahun 1947!"
"Agustus."
"Agustus?!"
"Pernah ke puring apa?"
tanyaku.”
“"Puring?!
Gombong Karanganyar?!" pistolnya sudah turun samasekali. Dan tiba-tiba aku
tahu, siapa dia.”
“"Seksi
Bima regu 2! Siapa yang pernah menangis di belakang pohon kelapa takut ambil
steling di muka waktu ada serbuan?"
"Mas Nug!!"
"Ya, saya ini."”
“Ia terpaku di aspal tak
bergerak-gerak. Kaget campur malu rupa-rupanya.”
“"Hla, kamu kok jadi bandit ini
gimana, Dik?" tanyaku.”
Cuplikan
di atas membuktikan bahwa Mas Nug dan Palguno adalah teman lama yang bertemu
kembali setelah sekian lama.
P.
Suasana
atau Tone
Perasaan yang
timbul di hati pembaca setelah membaca cerpen Vikers Jepang yaitu merasa
tegang, kasihan, dan terharu. Seperti pada kutipan.
Tapi kegelapan seolah-olah enggan
melepaskan aku. Setiap ada simpang jalan menganga, dingin dalam hatiku
bertambah sejuk. Rumah-rumah di tepi jalan tertutup rapat-rapat dan hitam oleh
ketiadaan cahaya. Aku mengayuh terus cepat-cepat, damba akan lampu jalan.
“"Mereka
baru-baru ini berkirim surat, rupa-rupanya mau menerima saya kembali, tetapi
saya belum dapat melupakan perkataan-perkataan keras yang pernah
terluncur."
"Allaa, jangan begitu keras
kepala, Dik Gun. Sama Belanda bisa damai kok sama ayah-ibu mau ngotot!
Kan tidak sewajarnya."
"Akan saya pikirkan, Mas.Saya
sudah terlanjur menempuh jalan sendiri. Sesungguhnya sejak umur 16 tahun saya
telah menempuh jalan sendiri, akar-akar telah tercabut dari bumi
kekeluargaan."
"Lalu pindah ke Jakarta
bagaimana?"
"Setelah kawin saya pergi
sendirian ke Jakarta, meneruskan sekolah. Tapi setelah tamat SMA, berat Mas.
Entah karena saya bukan potongan sarjana atau karena asrama yang rame. Pendeknya
hidup saya kacau, Mas. Uang KUDP tidak cukup untuk di Jakarta. Mas tahu
sendiri."”
“Ia
tak menjawab. Berdiri. Melemparkan pandang liar lagi kepada jam, kemudian
memandang penuh permintaan kepadaku.
"Tadi pamitnya ke mana?"
tanyaku tenang.
"Mengambil bidan, Mas. Bidannya
sudah saya kirim ke rumah. Saya bermaksud mencari tambah uang untuk membiayai
kelahiran bayi," perkataan-perkataannya mengalir keluar.”
Pada kutipan tersebut jelas sekali bahwa seorang pembaca
akan merasa sedih dan terharu terhadap kisah hidup Palguno.
Q.
Tema
(theme)
Tema cerpen
Vikers Jepang yaitu tentang persahabatan karena menceritakan tentang kedua
sahabat yang bertemu kembali.
No comments:
Post a Comment